Pesatnya disruptif teknologi dan hadirnya pandemi COVID-19 pada 2020 lalu telah membawa dampak yang cukup siginifikan bagi rakyat Indonesia dan dunia. Di bidang kesehatan, penyebaran virus dan tingkat kematian COVID-19 yang menyebar ke seluruh dunia dengan cepat, menyebabkan jutaan orang terinfeksi dan ribuan orang meninggal dunia. Lonjakan kasus dan tingkat kematian COVID-19 yang tinggi tersebut berdampak pula terhadap overloadnya sistem kesehatan. Setali tiga uang di bidang ekonomi, terbatasnya mobilitas masyarakat membuat resesi dan penurunan aktivitas ekonomi, ketidakpastian pasar keuangan, gangguan rantai pasokan global dan adanya kesenjangan ekonomi.
Kondisi tersebut memberikan dampak yang begitu buruk bagi masyarakat. Namun, ibarat dua sisi mata uang. Satu sisi membuat keadaan masyarakat kian terpuruk, sisi yang lain juga memunculkan hal-hal positif yang baru dirasakan di kemudian hari. Seperti adanya perubahan pola hidup masyarakat yang berakibat cepatnya transformasi digital atau adopsi teknologi di kehidupan sehari-hari.
Dalam catatan Kata Data (17/2/23), berdasarkan data Bank Indonesia (BI), uang elektronik yang beredar telah mencapai 772,57 juta unit pada November 2022. Jumlah tersebut meningkat 34,28% dari posisi akhir 2021. Sedangkan menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk Indonesia mencapai 275,77 juta jiwa pada Juni 2022. Sehingga rata-rata setiap penduduk memiliki 2,8 unit uang elektronik pada tahun lalu. Adapaun nilai transaksi uang elektronik sepanjang periode Januari-November 2022 mencapai Rp 1,03 kuadriliun. Nilai tersebut melonjak 46,44% dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Meskipun demikian, menurut data Global Financial Index 2021, indeks inklusi keuangan Indonesia belum cukup menggembirakan, yakni mencapai 51,76%. Masih kalah dengan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand yan memiliki indeks inklusi keuangan tertinggi. Malaysia 88,37%, Singapura 97,55%, Thailand 95,58%. Sedangkan Kamboja dan Laos memiliki indeks inklusi keuangan terendah, masing-masing 33,39% dan 37,32%. Sementara Filipina inklusi keuangannya mencapai 51,37%. Kendati demikian, data terbaru Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang dirilis pada 2022, indeks literasi keuangan Indonesia telah mencapai 82,5%.
Ketimpangan atau kesenjangan indeks inklusi keuangan diantara negara-negara ASEAN yang masih besar itu, menjadi tantangan sekaligus peluang bagi Indonesia. Sebagai Ketua ASEAN 2023, Indonesia tidak hanya memiliki tantangan untuk meningkatkan indeks inklusi keuangan dalam negeri setinggi-tingginya. Selain itu, sebagai salah satu negara terbesar di ASEAN yang memiliki populasi sekitar 270 juta jiwa atau negara terpadat keempat di dunia, Indonesia juga berpeluang menjadi lebih digdaya diantara negara ASEAN lainnya. Yakni sebagai pemain kunci atau lokomotif ASEAN yang membuat ASEAN tetap penting dan relevan bagi masyarakat ASEAN dan dunia. Yaitu menjadikan ASEAN sebagai pusat pertumbuhan ekonomi kawasan dan dunia.
Oleh sebab itu, Indonesia memiliki misi penting untuk meningkatkan kerja sama ekonomi negara-negara ASEAN. Diantaranya di bidang sistem pembayaran, melalui Bank Indonesia yang selalu mendorong konektivitas atau keterhubungan antarnegara, atau yang biasa disebut sebagai cross border transaction. Salah satunya, melalui Regional Payment Connectivity (RPC) yang tengah dikerjakan Bank Indonesia bersama bank sentral negara-negara ASEAN lainnya. Adanya RPC tersebut memberikan kemudahan dalam pembayaran lintas batas negara. Sehingga konektivitas sistem pembayaran ASEAN merupakan tonggak penting guna mewujudkan integrasi ekonomi dan kemajuan regional.
Terlebih pada era yang semakin maju ini, pembayaran digital telah mengalami pertumbuhan yang sangat pesat. Dan ASEAN sebagai kawasan ekonomi yang dinamis harus memanfaatkan potensi tersebut dengan sebaik-baiknya. Karena konektivitas sistem pembayaran digital di ASEAN memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya transaksi, dan mempercepat pergerakan dana antar-negara. Melalui sistem pembayaran digital yang terhubung tersebut, individu, perusahaan, dan pemerintah dapat dengan mudah melakukan transaksi lintas negara tanpa hambatan yang berarti. Hal itu akan mempermudah perdagangan antara negara-negara ASEAN, merangsang pertumbuhan ekonomi, dan menciptakan lapangan kerja baru.
Selain itu, konektivitas sistem pembayaran ASEAN juga membuka peluang bagi pelaku usaha kecil dan menengah (UKM) untuk terlibat dalam pasar regional dan global. Dengan adanya infrastruktur pembayaran digital yang dapat diakses dengan mudah, UKM dapat memperluas jangkauan produk dan layanan mereka ke negara-negara ASEAN lainnya. Hal itu akan membantu meningkatkan daya saing UKM, meningkatkan pendapatan mereka, dan secara keseluruhan menguatkan sektor UKM di ASEAN.
Namun, untuk mewujudkan konektivitas sistem pembayaran yang efektif di ASEAN, beberapa tantangan harus diatasi. Pertama, dibutuhkan kerjasama yang sangat kuat antara negara-negara ASEAN dalam mengembangkan infrastruktur pembayaran yang saling terhubung dan terintegrasi. Standar dan regulasi yang seragam sangat perlu ditetapkan untuk memfasilitasi aliran dana yang lancar dan aman di seluruh kawasan.
Kedua, masalah keamanan dan perlindungan data juga harus menjadi perhatian yang serius. Dalam mengadopsi pembayaran digital, penting untuk menjaga privasi dan keamanan informasi pengguna. Keamanan siber harus menjadi prioritas utama, dengan penerapan teknologi enkripsi yang kuat dan perlindungan data yang efektif.
Terakhir, literasi digital dan inklusi keuangan juga menjadi faktor penting suksesnya konektivitas sistem pembayaran digital di ASEAN. Pemerintah dan lembaga terkait perlu meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang manfaat dan cara menggunakan pembayaran digital. Selain itu, akses ke layanan keuangan harus diperluas agar semua lapisan masyarakat dapat mengambil bagian dalam transformasi digital ini.