Lihat ke Halaman Asli

Masalah Papua Masalah Kita Bersama

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Peristiwa kerusuhan konggres Papua III dan peristiwa pemogokan buruh PT. Freeport di Timika telah menimbulkan banyak diskusi di media massa. Sangat disayangkan bahwa pemberitaan kondisi Papua pasca kerusuhan itu tidaklah sesuai dengan kenyataannya. Kondisi Papua yang tenang meski ada peristiwa pembubaran konggres rakyat diberitakan sebagai mencekam. Bahkan sangat disayangkan, mereka yang tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Papua ikut-ikutan mendiskusikannya. Barangkali banyak rakyat Indonesia yang tidak mengerti apa yang sesungguhnya terjadi di Papua. Masyarakat Papua adalah masyarakat yang baru saja mengenyam modernisasi. Mereka dalam siklus perkembangan peradaban mengalami perubahan sangat drastis dari masyarakat berburu dan meramu tiba-tiba harus berubah menjadi masyarakat dalam dunia modern. Sistem ekonomi masyarakat lama yang cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari diubah dengan sistem ekonomi yang bisa diinvestasikan dalam jangka panjang. Kondisi ini dipandang orang-orang Jakarta sebagai termarjinalisasikan, padahal senyatanya tidaklah demikian. Mereka sedang dalam proses penyesuaian ke alam modern yang serba berbeda. Kebijakan rekognisi yang ditempuh sekarang dengan istilah otonomi khusus merupakan kebijakan yang tepat untuk memberikan waktu kepada mereka berproses secara wajar.

Akar konflik tidak terletak pada kemiskinan versi orang-orang Jakarta, tetapi akar konflik terletak pada elit tradisional Papua yang merasa terancam dengan modernisasi. Modernisasi akan menggantikan peran dan kedudukan elit tradisional dengan aparat birokrasi atau pejabat politik. Jadi, modernisasi merupakan ancaman serius bagi kekuasaan mereka. Dalam kondisi seperti itu, merdeka merupakan solusi terbaik untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Dengan demikian, bisa kita pahami mengapa para elit tradisional begitu ngotot untuk mempertahankan adat Papua dengan mendirikan organisasi Dewan Adat Papua atau segala tetek bengek organisasi yang berbau adat Papua. Hanya dalam lindungan adat itu, para elit tradisional Papua memperoleh kekuasaannya. Mengingat masih kuatnya garis adat, rakyat jelata hanya menurut saja apa yang diomongkan oleh elitnya. Perjuangan elit tradisional Papua dengan Papua Merdekanya dilakukan dalam dua garis yaitu garis politik dan garis bersenjata. Kedua bentuk perlawananan itu tidak ada kontak satu sama lain, kalau pun ada tidak terlalu dekat atau langsung (well coordinated). Secara politik, mereka merancang gerakan pembangunan opini dengan memanfaatkan setiap momen korban sebagai martir untuk mencari dukungan politik internasional, bila perlu menciptakan kondisi agar terjadi humanitarian intervention. Nah, kondisi itulah yang terjadi akhir-akhir ini. Sangat disayangkan media massa terutama televisi begitu gencar memberitakan masalah Papua ini dan seolah-olah menyalahkan pemerintah dan mempersilahkan dengan tulus ikhlas Papua untuk merdeka. Apakah Papua akan merdeka? Berdasarkan data dan teori yang ada, saya bisa memprediksikan Papua tidak akan pernah bisa merdeka. Papua telah terlanjur diakui oleh dunia internasional sebagai bagian dari NKRI. Belanda sendiri telah mengakui bahwa sejak awal Papua adalah wilayah Hindia Belanda yang harus diserahkan kepada Indonesia setelah Konferensi Meja Bundar yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Papua akan berhenti bergejolak ketika masyarakat Papua sadar bahwa dirinya selama ini ditipu oleh elit tradisional mereka. Kesadaran masyarakat akar rumput itu memerlukan sebuah proses panjang. Giddens mengatakan memerlukan pendidikan yang dapat meningkatkan peradaban mereka. Dengan demikian, yang harus dilakukan adalah sekarang membangun Papua. Otonomi khusus memerlukan bantuan dan supervisi dari pemerintah pusat. Otsus harus dibimbing agar menjadi bermanfaat. Aparat birokrasi Papua belumlah seterampil aparat birokrasi di wilayah lain. Untuk itu perlu ada bantuan dan supervisi dalam pengelolaan otonomi khusus ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline