Lihat ke Halaman Asli

Hak Milik Atas Tanah Perlu Direformasi

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HAK MILIK ATAS TANAH

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pada Pasal 33 ayat (3) menetapkan bahwa "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".Pengertian kalimat "dikuasai oleh Negara" di sini harus diartikan bahwa tanah dan segala isinya berserta ruang udara yang ada di atasnya dikelola(to be managed) ataudiatur(to be governed) oleh Negara, bukan dimiliki (to be possessed), dan dalam pengertian hukum ketata-negaraan istilah "Negara" terdiri atas wilayah (territory), rakyat (people), dan penyelenggara negara (government).

Hak penguasaan tanah oleh Negara sebagaimana dimaksud dalam UUD '45 tersebut kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria tahun 1960 atau biasa disebut dengan UUPA 1960, yang dituangkan dalam Pasal 4 ayat (1) dengan menetapkan bahwa "Atas dasar hak menguasai dari Negara, ditentukan adanya macam-macamhak ataspermukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapatdiberikankepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum".

Selanjutnya, hak-hak atas tanah dirinci dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, yakni berupa hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan, hak pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut-hasil hutan, dan hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang akan ditetapkan dengan Undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara. Selain itu pada ketentuan ayat (2) ditetapkan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa berupa hak guna air, hak pemeliharaan dan penangkapan ikan, dan hak guna ruang angkasa.

Dalam ketentuan Pasal 6 dan Pasal 7 UUPA ditetapkan bahwa "Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial", dan "untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan".

Sejatinya, pemberian hak atas tanah sebagaimana dirinci dalam UUPA adalah bertentangan dengan hakekat dari "rahmat Allah Yang Maha Kuasa" kepada bangsa Indonesia untuk mengelola (to manage dan to govern) wilayah Negara ini, bukan untuk memiliki (rightto possess), menggunakan untuk diambil manfaatnya (to exploit), memakai (to use), tidak perlu menyewa (to rent), atau sekedar memungut (to collect) hasil hutan.

Pemberian dan pengakuan hak milik atas tanah oleh Negara kepada orang perseorangan atau badan hukum justru akan menimbulkan ketidak adilan dan banyaknya kasus sengketa atas tanah. Semakin lama harga tanah yang memiliki sertifikat hak milik akan semakin mahal karena telah dimiliki oleh orang atau badan hukum yang kaya, yang akan berdampak pada ketidak-mampuan dan terhalangnya akses rakyat miskin terhadap tanah. Dalam jangka panjang, kondisi ini akan mengakibatkan penguasaan tanah yang tidak terkendali oleh orang atau badan hukum yang kaya sedangkan rakyat akan menjadi budak di negeri sendiri.

Pemberian hak milik atas tanah kepada orang perseorangan juga bertentangan dengan hukum adat yang berlaku di Indonesia karena tidak ada masyarakat adat yang memperbolehkan anggota masyarakat yang ada di lingkungan adat untuk memiliki tanah untuk kepentingan sendiri. Seluruh tanah yang ada dalam wilayah masyarakat adat harus dikelola bersama, bahkan seorang ketua adat pun tidak mempunyai hak untuk memiliki tanah bengkok yang menjadi bagiannya. Ketua masyarakat adat hanya berhak atas hasil dari pengelolaan tanah bengkok.

Dampak lebih jauh dari kepemilikan tanah adalah apabila hak milik jatuh pada warganegara asing dengan berlindung pada warganegara Indonesia, yang kelak apabila WNI tersebut mati, maka tanah tersebut sukar dan bahkan tidak mungkin dibeli dan dimiliki kembali oleh WNI karena harganya yang fantastis. Hak milik atas tanah sesuai ketentuan Pasal 20 ayat (1) UUPA adalah "hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dipunyai orang atas tanah",kalau hak milik atas tanah sudah terlanjur berpindah tangan kepada WNA, maka penyelenggara Negara pun secara hukum akan mengalami kesulitan bahkan tidak akan sanggup mengembalikan hak milik atas tanah kepada warga negara Indonesia.

Penyelenggara Negara juga akan mengalami kesulitan untuk membela kepentingan rakyat yang secara hukum tidak mempunyai akses terhadap tanah, menetapkan peruntukan tanah dan menentukan tata ruang, serta membuat perencanaan dan melaksanakan pembangunan karena Negara harus membeli dan membebaskan tanah yang telah bersertifikat serta harus menyediakan biaya ganti rugi yang besar untuk memindahkan pemilik tanah yang sah.

Tanah merupakan sumber sengketa yang abadi, tanah akan memisahkan hubungan antar keluarga, dan kepemilikan tanah akan membebani arwah manusia untuk masuk ke alam barzah. Itulah sebabnya mengapa di Indonesia banyak fenomena mengenai hantu..!, karena arwah masih terbebani oleh hak milik (antara lain tanah), sehingga arwah tersebut harus menunggu di rumah-rumah yang kosong atau di pohon-pohon yang ada di atas tanah kosong yang dahulunya pernah dimiliki hingga hari kiamat. Apalagi ketika jiwa lepas dari raga, orang yang mempunyai hak milik tidak sempat membuat wasiat untuk mewariskan hak miliknya. Fenomena ini dapat dilihat dalam tayangan mengenai dunia ghaib di berbagai stasiun televisi nasional, yang jarang bahkan tidak pernah dilihat di negara lain.

Di muka bumi ini, hanya kaum Nabi Ibrahim yang dibawa menyeberang oleh Nabi Musa ketika dikejar oleh Fir’aun saja yang merasa bahwa mereka dijanjikan tanah oleh Tuhan. Oleh karena itu hingga saat ini bangsa tersebut selalu melakukan ekspansi untuk menguasai dan memiliki tanah untuk kepentingan bangsanya sendiri tanpa menghargai dan menghormati eksistensi bangsa lain.

Hak kepemilikan atas tanah (apalagi dalam jumlah yang luas) yang diwariskan, tidak akan menjamin bahwa pewaris akan didoakan oleh para ahli waris ketika ia telah meninggal dunia. Justru yang sering terjadi adalah sengketa diantara para ahli waris yang akan menghalangi arwah si pewaris ketika dihisab. Selain itu, apabila hak milik atas tanah diwariskan kepada anak keturunan, maka warisan tanah tersebut justru akan membebanipikiran mereka sehingga tidak berkembang dan akibatnya mempunyai wawasan pemikiran yang sempit karena merasa berat untuk meninggalkan tanah warisan.

Untuk sektor agraria, hak milik atas tanah justru akan menghambat peningkatan produksi pertanian karena setiap petani atau peternak akan menggarap tanah miliknya sendiri-sendiri dan apabila usia pemilik tanah telah bertambah tua, maka akan banyak lahan yang tidak dikelola sehingga menjadi lahan yang terlantar. Jalan yang paling singkat dan paling mudah adalah dengan menjual tanah yang dimiliki kepada orang lain yang bukan berprofesi sebagai petani atau peternak sehingga mengakibatkan berubahnya fungsi lahan. Kalau fungsi lahan sudah berubah, maka tahap selanjutnya adalah terjadinya kerusakan lingkungan.

Harus segera dilakukan reformasi atau penataan kembali terhadap peraturan agraria dengan moratorium penerbitan sertifikat hak milik atas tanah..!!

Reformasi peraturan agraria haruslah didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut:


  1. Didasarkan pada keyakinan bahwa Alloh Yang Maha Kuasa, menciptakan manusia dan menempatkannya di (planet) bumi, bukan di planet yang lain, adalah untuk mengelola (to manage) bumi ini sehingga tetap lestari hingga waktu yang telah ditentukan. Bumi dan segala isinya diciptakan bukan untuk dimiliki, sekedar dipakai, atau digunakan, apalagi digali;
  2. Kemampuan rata-rata setiap manusia untuk mengelola tanah adalah 25 tahun dan maksimum 30 tahun. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa kemampuan mengolah tanah (land management) hanya bisa diberikan kepada seseorang yang telah dewasa (berusia sekitar 17 s/d 20 tahun) yang selanjutnya akan merasa lelah ketika ia menginjak usia 45 tahun dan secara fisik tidak mampu lagi mengolah tanah ketika usianya mencapai 50 tahun. Karenanya pemberian hak pengelolaan tanah yang adil dan manusiawi adalah untuk jangka waktu 30 tahun yang kemudian dapat diperpanjang (apabila pengelola tersebut masih merasa mampu untuk mencangkul);
  3. Pada dasarnya tugas dan tanggungjawab manusia yang nyata dalam mengelola tanah adalah memelihara kebersihan dan menjaga keamanan dari bagian tanah yang dikelolanya. Oleh sebab itu, pengelolaan tanah harus dilaporkan oleh pengelolanya secara berkala setiap 5 tahun dan pengelola tanah wajib membayar iuran (pajak) untuk membangun dan memelihara fasilitas yang digunakan untuk kepentingan umum seperti jalan, saluran air, dan pengelolaan tempat pembuangan sampah atau limbah;
  4. Apabila karena sesuatu alasan yang sah, tanah secara nyata tidak ada yang mengelola untuk jangka waktu 3 tahun berturut-turut, maka Negara dengan berdasarkan keputusan pengadilan, dapat mencabut dan mengalihkan pengelolaan tanah kepada pengelola yang lain dengan pemberian kompensasi kepada pengelola tanah yang lama. Kompensasi diberikan hanya untuk harga bangunan yang ada di atasnya yang merupakan hasil pelelangan bangunan atau premis milik pengelola yang lama. Jangka waktu proses pengalihan pengelolaan tanah berdasarkan putusan pengadilan adalah 2 tahun;
  5. Pengelolaan tanah yang berada di kawasan pertemuan antara daratan dan perairan (misalnya pantai dan bantaran sungai) hanya dapat diberikan kepada orang perorangan atau badan hukum secara selektif dan transparan dengan memperhatikan prinsip dasar bahwa kawasan tersebut merupakan kawasan umum dimana semua orang mempunyai hak akses ke perairan, semua orang mempunyai kewajiban untuk memelihara kebersihan dan kelestarian lingkungan, serta menjaga keamanan dan ketertiban di kawasan tersebut.
  6. Pelaksanaan moratorium sertifikat hak milik atas tanah mulai diberlakukan setelah berlakunya peraturan perundang-undangan yang baru dengan memberikan masa transisi kepada orang perorangan dan badan hukum yang telah memiliki sertifikat hak milik atas tanah untuk mengubah hak kepemilikan menjadi hak pengelolaan untuk jangka waktu 30 tahun yang dapat diperpanjang untuk jangka waktu 30 tahun lagi dan seterusnya, dengan syarat bahwa orang atau badan hukum yang bersangkutan secara nyata masih melakukan pengelolaan tanah yang menjadi bagiannya.

Penulis menyadari bahwa moratorium terhadap sertifikat hak milik atas tanah yang merupakan kekeliruan penerapan UUPA 1960 yang telah berjalan lebih dari 50 tahun, akan menuai berbagai kecaman dan kritikan dari berbagai pihak terutama dari mereka yang merasa bahwa dirinya kuat, merasa berkuasa dan merasa akan hidup selamanya. Tetapi penulis yakin bahwa kekuatan dan kekuasaan rakyat dan bangsa Indonesia lah yang akan membuat negara ini akan hidup selamanya.

Akhirnya, kepada pemilik sertifikat hak milik atas tanah, jangan merasa bangga dulu dengan kepemilikan sertifikat tersebut, karena kelak ia harus mempertanggungjawabkan pengelolaan tanah yang merasa secara sah dimilikinya kepada Sang Khalik sebagai pemilik yang sebenarnya dari seluruh alam semesta termasuk tanah dengan segala isinya.

Semoga..!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline