Minangkabau yang mayoritas masyarakatnya muslim tergambar dalam falsafah adatnya "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" yang artinya adat berlandaskan syariat (aturan-aturan Islam) sedangkan syariat berlandaskan kitab allah (Al-Qur'an).
Falsafah ini yang mengatur segala tindakan yang dilakukan harus berlandaskan Islam.
Secara garis besar surau di Minangkabau sama halnya dengan masjid ataupun musala pada umumnya. Yang menjadi pembeda terletak pada status kepemilikan dan fungsinya.
Surau di Minangkabau biasanya milik suatu kaum atau suku tertentu yang selain fungsinya sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat musyawarah kaum.
Surau juga menjadi sarana untuk generasi muda belajar ilmu agama, adat, dan permainan anak nagari (anak muda) seperti silek, randai, pasambahan dan kegiatan lainnya.
Sistem pendidikan surau ini dulunya di Minangkabau berpengaruh besar melahirkan cendikiawan dan intelektual untuk mencapai terwujudnya kemerdekaan Indonesia.
Sebut saja Moh. Hatta, Imam Bonjol, Buya Hamka, Sultan Syahril, Agus Salim, Tan Malaka, Chairul Anwar, syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan banyak lagi nama yang lain.
Beliau-beliau ini di masa mudanya lebih banyak menghabiskan waktu di surau dibandingkan di rumah. Dari asar hingga salat subuh mereka diajarkan pendidikan agama, adat istiadat, silat, pasambahan, randai, dan sebagainya.
Setelah selesai belajar yang laki-laki akan tidur di surau hingga subuh sedangkan yang perempuan pulang ke rumah masing-masing. Jika ada laki-laki yang tidak tidur di surau kadang ditertawai teman-teman lain dengan istilah "bujang gadih", sudah besar masih tidur di rumah.
Ini yang memupuk jiwa anak muda Minangkabau untuk berani keluar dari zona nyaman orangtuanya untuk mencari bekal ilmu yang akan menuntunnya hingga dewasa nantinya.
Makanya tidak heran kalau laki-laki Minang banyak merantau sebab jiwa itu sudah melekat dalam dirinya. Mereka memberanikan dirinya berpisah sementara dengan orangtua untuk memperluas cakrawalanya di daerah lain mencari kehidupan yang lebih baik tentunya.