Lihat ke Halaman Asli

Jatuh Sakit

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

4.

Jatuh Sakit

Setelah Bu Sur bekerja selama tiga bulan, pada suatu pagi, anaknya yang duduk di bangku SMK mengirimi pesan via Handphone bahwa ibunya (Bu Sur) hari ini tidak bisa bekerja karena anak bungsunya sakit.

Isteriku pun mengizinkan dan meminta agar berangkat bekerjanya kalau anaknya sudah sembuh saja. Pekerjaan rumah tanggaku pun ditangani oleh Ibu Mertua yang kebetulan sedang di rumah saja.

Sampai dua hari, Bu Sur tidak memberi kabar. Di SMS isteriku juga tidak pernah dibalas. Isteriku cemas, takut anak Bu Sur sakit parah. Akhirnya, isteriku mencari inisiatif untuk mencari informasi dari tetangganya.

Didapatlah informasi bahwa anaknya kemarin, katanya, baru saja diperiksakan di puskesma. Maka, pada hari yang ketiga, aku menyuruh isteri dan adikku yang perempuan untuk menjenguknya.

Sore harinya, isteri, adik, dan anakku yang baru duduk di bangku TK datang ke sana untuk menjenguk. Sampai menjelang magrib mereka baru pulang. Tapi, aku tersentak kaget ketika saat baru masuk rumah, isteriku tiba-tiba memelukku dengan erat dan meneteskan air mata.

“Ada apa, Bu?” tanyaku.

Dengan sesenggukkan, isteriku berkata, “Aku kasihan dengan kehidupan Bu Sur. Sungguh di luar dugaanku, di daerah yang terasa kota ini, masih ada kehidupan seperti itu.”

“Memangnya kenapa?”

“Rumah Bu Sur berada di ujung kebun-kebun yang menyeramkan. Kanan-kirinya tidak ada tetangga, dan jalannya naik-turun tidak beraspal. Berbatu licin. Aku yakin setiap pagi dan sore, Bu Sur yang pergi dan pulang bekerja dari rumah kita pasti sangat kepayahan. Di tambah lagi, saat aku melihat rumahnya. Aku tidak menyangka masih ada rumah seperti itu. Berdinding kayu dan geribik (anyaman bambu). Berlantai tanah, dan setelah aku masuk di dalam rumah, aku tersentak kaget dan bingung. Rumahnya nyaris tidak ada isinya. Hanya kursi-kursi bambu yang reot, dan satu lemari pemberian kita yang kita anggap sudah rusak. Peralatan elektroniknya hanya tevisi hitam putih…

“Kita begitu mudah membeli barang-barang tanpa ada pertimbangan yang matang. Sementara di sekitar kita, masih ada orang yang untuk membeli barang saja harus bekerja dan berjuang berbulan-bulan mengumpulkan uang,” kata isteriku yang barangkali menyindirku karena keborosan pengeluaranku.

Aku pun terdiam….




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline