Lihat ke Halaman Asli

GAFATAR vs MUI : Siapa yang Benar?

Diperbarui: 11 Februari 2016   00:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gempar GAFATAR

Eksistensi Gerakan Fajar Nusantara telah membuka mata publik tanah air pada periode awal tahun 2016 ini. Pembakaran dan perilaku anarkis di Mempawah Kalimantan Barat seolah menjadi momentum bagi aparat negara untuk melakukan evakuasi bagi seluruh eks anggota di seluruh propinsi khatulistiwa ini. Negara secara resmi melakukan “pengusiran legal” yang mengatasnamakan keamanan kepada orang-orang yang hendak membangun hidup melalui dunia pertanian ini. Pemerintah secara sistematis dan terorganisasi dalam waktu sekejap sudah berhasil mengevakuasi dan memulangkan ribuan warga negara Indonesia yang tidak bersalah ini menuju Pulau Jawa dan Sumatera.

Pasca tragedi pembakaran pemukiman dan pemulangan eks GAFATAR ini muncul dukungan dan hujatan dari berbagai personal, komunal maupun dunia internasional kepadanya. Keberadaannya telah menyihir keingintahuan masyarakat terhadap enomena dan esensi dari apa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan berlogo matahari terbit ini. Pro dan kontra mewarnai nuansa publik negeri ini disebabkan oleh maraknya pemberitaan di media sosial. Hari ini banyak orang ingin mencari tahu informasi terkait seluk beluk dari organisasi yang berdiri pada tanggal 14 Agustus 2011 dan secara resmi dibubarkan pada tanggal 11 Agustus 2015.

Fatwa Sesat yang Tersesat

Pedih dan lara eks GAFATAR ini belum kunjung usai, karena beberapa hari setelahnya justru mendapatkan sebuah “justifikasi” sebagai organisasi sesat dan menyesatkan dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomer 6 tahun 2016. Fatwa MUI Pusat ini melengkapi fatwa sebelumnya yang telah dikeluarkan oleh MUI Sultra, MUI Kalimantan Barat, dan MPU Aceh. Padahal, GAFATAR menurut AD/ART-nya oraganisasi ini berasaskan Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran universal. Kendaraan yang membawa misi kebenaran ini terpaksa diadili oleh sebuah pandangan/penilaian sepihak dari majelis agama tersebut.

Fatwa MUI ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh mantan pimpinan Gerakan Fajar Nusantara. Beberapa hari sebelum dikeluarkannya fatwa, mantan Ketua Umum Gerakan Fajar Nusantara telah menyatakan sikap keluar dari pemahaman agama islam mainstream. Dengan kata lain, ormas GAFATAR ini ingin menekankan bahwa dirinya bergerak bukan pada ranah agama tertentu, serta melepaskan diri dari jerat “agama Islam mainstream” yang hari ini sudah terpecah belah ke dalam beberapa golongan dan masing-masing golongan merasa bangga terhadap dirinya sendiri. Eks Ketum ini mempertegas bahwa perihal keyakinan adalah sangat individual dan asasi, sehingga tidak boleh dipaksakan oleh siapapun. GAFATAR sendiri mempunyai keyakinan bahwa para anggotanya berpegang teguh pada ajaran universal atau jalan kebenaran sejati yaitu Millah Abraham sebagaimana telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul Tuhan Yang Maha Esa.

Dengan demikian, fatwa MUI ini tidak lagi relevan ditujukan kepada organisasi ini. MUI sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan tidak berhak memberikan fatwa terhadap organisasi berbasis kesamaan kegiatan (sosial). Apalagi MUI ini mewakili salah satu agama tertentu yaitu Islam, sementara para anggota GAFATAR ini banyak terdiri atas berbagai macam agama di dalamnya. Akan tetapi, karena hasrat dan desakan atas nama masyarakat, MUI tetap bersikukuh mengeluarkan fatwa sesat kepada GAFATAR yang sedang berjuang menegakkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kepemimpinan dan keadilan ini, sebagaimana diamanahkan dan dicita-citakan oleh foundhing father negeri ini.

 

Uji Kebenaran GAFATAR Vs MUI

Hal menarik pasca dikeluarkannya fatwa MUI tentang aliran GAFATAR yang sesat  dengan pernyataan sikap eks Ketua Umum GAFATAR yang mempertegas berpegang teguh pada jalan hidup yang benar “Millah Abraham” adalah membuktikan siapa yang benar dan siapa yang sesat. Hari ini keduanya sudah memberikan argumen dan pernyataan benar menurut organisasinya masing-masing. Tinggal siapa yang benar-benar tersesat? Siapa yang benar-benar berjalan pada jalan hidup yang benar?

Untuk menjawab dan menganalisa siapa yang benar dan salah ini, maka tentu kita harus memahami apa itu kebenaran. Benar dan salahnya sesuatu harus diukur menggunakan metode ilmiah. Kebenaran harus diuji, divalidasi dan diverifikasi menurut kaidah ilmu yang ilmiah. Kebenaran itu sendiri menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan yang cocok dengan keadaan sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh ada, kelurusan hari, kejujuran dan tidak seorang pun menyangsikan. Untuk melihat sesuatu itu “benar atau salah” dapat melalui suatu metode atau teori yaitu korespondensi, koherensi maupun pragmatis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline