Bagi guru, menulis artikel ilmiah harus menjadi suatu hobi, kebiasaan, yang akhirnya menjadi kebutuhan. Menulis menjadi bagian dari pengembangan profesi guru. Guru PNS golongan IV/a ke atas, jika ingin naik pangkat disyaratkan membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) berupa Penelitian Tindakan Kelas (PTK), buku, modul, artikel ilmiah, dan sebagainya.
Sungguh menyedihkan banyak guru golongan IV/a yang terhambat naik pangkat karena terkendala pembuatan KTI. Padahal seorang guru, harusnya selalu berhubungan dengan kegiatan membaca dan menulis (literasi).
Memang kemampuan menulis berbeda dengan kemampuan mendengar, membaca, menyimak dan berbicara. Kemampuan menulis lebih berat dan sulit dari kemampuan mendengar, membaca, menyimak dan berbicara, karena kemampuan menulis meliputi kemampuan mendengar, membaca, menyimak dan berbicara. Orang yang suka dan banyak membaca, belum tentu bisa menulis artikel dengan baik, tapi jika seorang penulis, pastilah dia suka membaca, karena membaca adalah salah sumber inspirasi bagi penulis untuk menuangkan idenya.
Menarik pendapat Romli, “Banyak orang pandai berpidato tetapi sulit mengemukakan pemikirannya dalam bahasa tulisan. Banyak pula orang menggunakan ‘bahasa tutur’ (lisan) ketika menulis, tulisannya dinilai tidak layak oleh redaktur” (Romli, 2005:42). Sedang menurut penulis inilah penyebab guru sulit menulis, yaitu:
Pertama, guru tidak suka membaca. Memang ironis, guru sebagai salah satu sumber belajar dan sumber ilmu, tapi tidak suka membaca. Padahal untuk mendapat ilmu salah satu caranya dengan membaca selain melihat, mendengar, mengucapkan, merasakan dan praktik langsung.
Salah satu penyebab utama rendahnya minat baca masyarakat Indonesia adalah pengasuhan orang tua yang tidak mengajarkan kebiasaan membaca sejak dini. Tak sedikit orang tua di Indonesia yang malas mengajak anaknya untuk membaca sejak usia dini.
Untuk mengatasi masalah ini tumbuhkan budaya membaca dikalangan guru dan masyarakat Indonesia, misal kita budayakan kalau memberi hadiah ulang tahun pada anak kita atau siapa saja dengan buku, atau kalau membeli oleh-oleh selain makanan atau souvenir, kita juga membeli buku untuk oleh-oleh anak kita atau teman dan tetangga kita, sehingga terbentuk budaya senang membaca yang nanti pada akhirnya tercipta budaya suka menulis. Memang butuh waktu yang lama untuk menciptakan budaya ini, tapi tidak terlambat untuk kita laksanakan sekarang, dari pada tidak sama sekali.
Kedua, guru sibuk dengan urusan administrasi. Tugas guru memang banyak dan berat serta tidak hanya mengajar saja, tapi juga mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai. dan mengevaluasi peserta didik. Belum lagi harus menyiapkan perangkat administrasi itulah konsekuensi dari sebuah profesi guru.
Guru mempunyai kedudukan sebagai tenaga profesional pada jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal yang diangkat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kalau guru sudah profesional, ditunjukkan guru ini sudah bersertifikasi harusnya tidak kesulitan untuk membuat artikel ilmiah, tapi kenyataannya meski sudah bersertifikasi masih banyak guru yang kesulitan menulis karya tulis ilmiah.
Terlepas dari itu semua, sesibuk apapun guru harusnya guru tetap meluangkan waktu untuk bisa menulis, minimal satu bulan sekali membuat artikel ilmiah, kalau tidak bisa minimal satu semester sekali menulis artikel ilmiah. Waktu liburan semester bisa digunakan untuk kegiatan menulis dan kalau tidak bisa juga, minimal setahun sekali untuk menulis artikel ilmiah. Jika tidak bisa juga itu namanya terlalu, menurut bang haji Oma Irama.
Ketiga, guru tidak mau menulis. Kenapa guru tidak mau menulis, penyebabnya adalah malas bin ogah, solusinya gampang, yaitu mulai sekarang guru harus menulis tentang apa saja dan jangan ditunda. Menulis itu gampang, menulis itu menyenangkan, menulis itu berbicara di atas kertas, gampang kan.