Pemilu menurut Pasal 22E UUD (Undang-Undang Dasar, red) 1945 harus dimaknai secara limitatif untuk memilih anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, red), DPD (Dewan Perwakilan Daerah, red), DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, red), Presiden dan Wakil Presiden yang dilaksanakan lima tahun sekali. Berdasarkan pemahaman yang limitatif itu pula beberapa saat yang lalu Mahkamah Konstitusi memutuskan Pelaksanaan Pemilihan Umum Legislatif dan Pemilihan Umum Presiden dilakukan secara serentak di 2019 kedepan, Putusan ini tertuang dalam nomor perkara No.14/PUU-XI/2013 yang dibacakan hari kamis tanggal 23 Januari 2014. Sebab kedua pemilu diatas merupakan satu kesatuan rezim Pemilu sebagaimana diamanatkan oleh undang - undang dasar (vide pasal 22E).
Sedangkan berkenaan dengan Pemilihan Kepala Daerah (Gubernur, Bupati dan Walikota), konstitusi kita mengaturnya dalam pasal Pasal 18 ayat 4 UUD 1945 yaitu menegaskan bahwa Pemilihan Gubernur, Bupati, Walikota dilakukan secara Demokratis. Hal ini kemudian secara konstitusional dipertegas dengan adanya Putusan MK 97/PUU-XI/2013 berkenaan dengan Kewengan MK mengadili sengketa Pilkada, MK dalam Putusanya MK Menegaskan bahwa ‘Pilkada bukan bagian dari Rezim Pemilu, sehingga MK tidak berwenang untuk mengadili Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Kepala daerah. Jika kemuadian nanti kedepan ada fenomena politik yang merubah konstitusi kita menjadikan Pilkada sebagai bagian dari Rezim Pemilu, maka Pemilukada harus dilaksanakan serentak dengan Pemilihan Presiden, DPD, DPR, DPRD sebagai konsekuensi logis dari putusan Mahkamah Konstitusi No.14/PUU-XI/2013 yang memerintahkan agar Pemilu dilaksanakan secara serentak mulai tahun 2019.
Sangat disesalkan ketika secara monoton ada yang berpandangan bahwa pemilihan kepala daerah melalui sistem keterwakilan DPRD merupakan bentuk pembunuhan terhadap Demokrasi. sebab pemahaman "dipilih secara demokratis" tidak seharusnya mutlak dimaknai dengan pemahaman dipilih langsung oleh seluruh masyarakat. mengingat bahwa seluruh anggota DPRD merupakan keterwakilan dari rakyat / konstituen di masing - masing daerah pemilihanya, sehingga pemilihan melalui sistem keterwakilan DPRD juga terkategori sebagai mekanisme pemilihan yang dilakukan secara demokratis. Jika pemaknaan demokratis itu semata - mata harus melalui mekanisme pemilihan langsung, maka tentunya dalam setiap pengambilan kebijakan di republik ini, mutlak seluruh rakyat harus dilibatkan secara langsung, tanpa memberikan hak dan / atau kewenganangan kepada para wakil rakyat yang telah kita percayakan melalui pemilihan umum untuk mewakili suara dan aspirasi baik di tingkat nasional maupun daerah. dan itu artinya bahwa secara tidak langsung kita telah menggiring bangsa ini pada keadaan yang tidak lagi tertata oleh sistem.
Maka oleh karena itu, jauh sebelum kita terjebak pada opsi DUKUNG atau TOLAK Pilkada Langsung, alangkah baiknya kita terlebih dahulu menggali lebih dalam tentang Pemaknaan kalimat "Dipilih secara Demokratis" (vide pasal 18 ayat 4 UUD). Kami berpandangan bahwa perdebatan-perdebatan yang pembahasanya keluar dari konteks kalimat itu, dapat dikategorikan sebagai berdebatan yang "sesat menyesatkan" karena tidak menjadikan Konstitusi sebagai acuan/rujukan dalam membangun gagasan. Perlu diingat bahwa jauh di atas kompleksitas kepentingan politik masing-masing Golongan/Partai Politik yang harus masing-masing diamankan, kita tetap harus menempatkan kesucian Konstitusi pada posisi tertinggi, sebagai konsekuensi dari Pilihan kita menjadikan Negara ini sebagai Negara Hukum (Rule Of Law) bukan Rule Of the Man.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H