Lihat ke Halaman Asli

Biru Malaikat

Diperbarui: 25 Maret 2024   22:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : unsplash.com

"Saya menghormati dan menyukai manusia dari lubuk hati terdalam," aku seorang malaikat. "Mereka kesayangan Tuhan, memiliki cinta kasih tak terhingga hingga jadi umat Tuhan yang paling sempurna."

Ia turun ke bumi atas perintah Tuhan. Untuk mengabulkan tiap-tiap doa yang manusia panjatkan. Senang bukan main ia melakukannya. Sebab dapat jadi perantara untuk makhluk kesayangan Tuhan. Sebelum ia tahu seberapa menjijikkan manusia itu.

Saat itu hari tengah hujan deras. Orang-orang berkurung diri di rumah. Jalanan sepi, yang berteduh di pinggir jalan juga tidak ada. Sebab sudah lewat tengah malam. Kecuali seorang pria gondrong yang janggutnya sama tebal dengan rambutnya.

Pria itu pengangguran. Orang gagal, sarjana sial, sampah masyarakat, bahan caci tetangga, aib keluarga, dan macam-macam lagi julukannya. Padahal tidak seburuk itu, si malaikat sudah tahu seluk-beluk tentangnya.

Saat sekolah, ketika temannya sibuk berpetak umpet, si pria sibuk menghafal rumus. Saat temannya hanya bermain bola di luar, di pria sibuk melatih tubuh sesuai isi buku teks olahraga. Di kala temannya menongkrong di kafe, si pria duduk sendiri dengan mata dan jari yang fokus di laptop, sambil menyeruput kopi berkali-kali.

Ke mana pun sudah melamar kerja, mau jadi tukang sapu rumah sakit, butuh pabrik, admin kantor, atau promotor telepon genggam. Tidak satu pun dari semua itu dia diterima. Apa yang salah? Kepalanya? Dia pelamar dengan nilai rapor tertinggi. Sikapnya? Dia berhasil membuat ayah dan ibunya tak pernah marah sekali pun, bahkan jika dia pengangguran. Penampilannya? Dia bisa jadi model majalah kalau punya koneksi.

Ketika hari telah larut malam dan orang-orang mulai tidur, dia akan keluar dari rumah. Berjalan sendirian ke dalam kegelapan berselimut lampu kuning. Hari itu sialnya hujan turun. Dia tidak berteduh, melainkan bersujud di atas tanah basah.

Kakinya dirayapi lumpur, matanya dihinggapi air hujan sampai merah. Dia menyunggingkan senyum sambil meneteskan air mata. Tertawa lalu menangis. Habis itu tertawa lagi dan menangis lagi. Berulang-ulang sampai akhirnya dia membuka mulut.

"Kenapa, Tuhan? Sudah tak terhitung lagi di jari tangan dan kakiku, berapa kali aku melamar. Tak terhitung saudara dan teman yang kudatangi. Tak peduli berapa kali kuingin berdagang. Tak habis pula aku gagal sebelum dapat bekerja." Suaranya menyelinap masuk di tengah derasnya hujan. "Kumohon, Tuhan, berilah aku pekerjaan, tak peduli apa pun itu, selagi tak melanggar perintah-Mu, aku mau."

Barangkali sudah tak sanggup dia makan bersama ayah dan ibunya. Tak sanggup dia berpapasan dengan tetangga. Tak sanggup dia diundang teman sekolahnya dulu. Sampai-sampai makin lama dia menganggur, makin habis pula asanya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline