Ia mempercepat larinya, tapi tetap saja terlambat. Kaca besar di mobil bak terbuka itu jatuh hingga pecah. Pecahan besar mengenai seorang gadis di sebelah mobil bak terbuka itu yang mendongak ke atas. Kaca itu menembus lehernya, beberapa beling juga mengenai bagian tubuhnya yang lain. Gadis itu terhempas ke tanah sambil berlumur darah.
Ia melangkahkan kaki perlahan, lelaki ini mengenal gadis yang mati itu. Gadis itu, adik tirinya, juga orang yang ia sukai. Dengan kaki yang gemetar, ia mendekati gadis itu. Ia tak tahu apakah ini benar-benar nyata, tapi ia berharap tidak. Tubuhnya seketika lemas, pandangannya kabur, ia tumbang di sebelah adiknya. Bahkan di saat terakhir adiknya, tak ada kata-kata yang diucapkannya. Beberapa orang di sekitar berteriak histeris melihatnya.
***
Algea---lelaki itu duduk di sofa tanpa bergerak sedikit pun. Ruangan kosong tempatnya sekarang begitu gelap, tanpa pencahayaan. Sampah berserakan di lantai dekat kakinya. Selimut kumal menutupi seluruh tubuhnya. Sudah lebih sebulan sejak kehilangan adik tirinya, gadis yang juga ia sukai, juga satu-satunya keluarga yang ia miliki.
Kekosongan terlihat di matanya. Menambah kekelaman di ruang itu. Rambut panjangnya yang berantakan menutupi matanya. Ia melamun memikirkan adiknya, mengingat kenangannya.
Seketika angin menerpa dari jendela yang terbuka. Menyadarkannya dari lamunan. Ia beranjak, meninggalkan selimut kumalnya di sofa. Dengan langkah gontai mendekati jendela. Tanpa disadarinya, hari sudah malam. Rasanya masih pagi ketika ia baru duduk di sofa. Di luar juga begitu gelap, hanya beberapa rumah yang menghidupkan lampu. Rumahnya sendiri juga sangat gelap, tapi ia lebih suka begitu. Baginya lebih mudah untuk mengingat adiknya dengan kegelapan itu.
Pikirannya kembali berkelebat. Mungkinkah adiknya mati? Dia bukannya menghilang atau pergi entah ke mana? Tapi, Algea memakamkannya. "Algea ...." Algea terus mendengar itu di kepalanya. Suara yang begitu halus, menenangkannya, ia ingin adiknya tetap di sisinya mengucapkan namanya. Angin malam kembali menyadarkannya. Niat untuk menutup jendela, urung dilakukannya.
Ia kembali berjalan menuju sofa. Seketika tubuhnya gemetar, mengingat adiknya. Ia tersungkur ke lantai. Mata kosong itu mengeluarkan cairan bening yang terus mengalir. Ia bangkit dan duduk di lantai. Sementara punggungnya bersender ke dinding.
Adiknya menunggu sidang itu. Ia berjanji untuk makan siang di restoran favorit mereka sepulang sekolah. Jika saja ia lebih cepat, jika saja ia tak terlalu lama di perpustakaan membantu klubnya .... Ia ingin adiknya. Ia ingin seseorang yang selalu menemaninya itu kembali. Ia berharap adiknya ada bersamanya. Sambil menjambak rambutnya, ia terus menangis.
Seketika angin malam kembali menyadarkannya. Tangisnya berhenti, ia menoleh ke arah jendela sambil berharap adiknya ada di sana. Memang, ada seseorang di sana, seorang gadis yang tak asing di matanya. Seorang gadis yang tak diinginkannya untuk pergi. Adiknya, yang begitu disayanginya.