Seorang pria mengentak-entakkan kaki di depan pagar sebuah rumah. Dikeluarkan olehnya amplop cokelat besar, yang diperiksanya dulu dalamnya, memastikan beberapa lembar surat ada, lalu ditaruh ke dalam kotak surat di pagar rumah. Lama pula lagi ia termangu setelahnya. Diam berdiri di pagi buta itu. Sampai terbit pula terang, dan lewat pula pengantar koran, yang heran timpa curiga melihatnya. Dan pergi pula kawanan anak sekolah yang mengejeknya bisik-bisik. Tampak silau matahari, barulah ia sadar sudah terlalu lama di sana. Lantas ia melangkah, hanya menampakkan punggungnya pada rumah itu.
Tidak sampai setengah jam sehabis itu, pintu pagar masih belum lagi terbuka. Namun kotak suratnya bisa dibuka dari balik dalam pagar. Seorang wanita merogoh ke dalam. Mengeluarkan koran dan mendapati ada kertas lain. Yang isinya ialah amplop tadi. Dibukanya amplop tanpa nama itu, dan dikeluarkan beberapa lembar surat. Yang ditulis tangan oleh orang yang dikenalnya, bahkan jika hanya dari tulisan. Dibawanya surat-surat itu ke dalam, duduk di sofa impornya, menyeruput teh, dan membacanya. Seperti inilah isi surat-surat itu:
Sudah agak lama saya menunggu bus sore itu. Bukannya mendapatkan tumpangan, malah hujan yang saya dapat. Belum lagi halte tempat saya berdiri (tidak bisa duduk karena tak ada kursi) atapnya tinggal separuh, dan itu juga bolong-bolong. Tidak ada bedanya saya dengan anak-anak yang berlarian di seberang saya, yang tengah mandi hujan. Malang sudah nasib saya sore itu, begitulah saya pikir. Sampai saya melihat seseorang, gadis ayu, berputar-putar dengan lidah menjulur, berdansa dengan angin, lanjut lagi tergelak-gelak sendirian. Bukan gila, saya lebih setuju jika gadis itu sedang membebas diri. Gadis itu ialah Anda. Sore itu pertama kali kita bertemu.
Sebagai seorang lelaki tulen, tentu saya tertarik dengan Anda. Bukan lagi tertarik, saya sudah kelewat suka. Banyak gadis yang lagi manis dan cantik ketimbang Anda, tapi saya lebih suka melihat Anda. Saya yang kehujanan dan Anda yang menari di bawah hujan, sore itu kita lupa waktu. Hanya memandangi Anda bisa buat saya lupa kalau saya hendak pulang ke rumah. Namun, saya beruntung, sebab Anda mengajak saya bicara lebih dulu. Tidak cukup uang membeli payung, kita patungan, meski sudah basah satu badan. Tidak saya sangka harga payung dua kali lipat ongkos bus.
Rumah Anda lebih dekat dari pada saya, sebab itu rasanya kita yang berduaan di bawah payung seperti saya hendak mengantar Anda pulang. Padahal kebetulan saja rumah kita searah. Mulai hari itu, saya juga kerap mencari-cari kesempatan untuk bertemu Anda. Setiap pagi saya akan berjaga di dekat pagar rumah Anda, dan pura-pura sedang berjalan-jalan begitu Anda keluar. Kebetulan yang tidak sekali dua kali, kata Anda dulu. Yang hingga waktu-waktu berlalu, kita jadi selalu berjanji kalau akan keluar bersama.
Bukan gaya saya pergi ke perpustakaan. Meski lebih segudang kilang padi sudah buku saya makan. Ke perpustakaan itu rasa-rasanya agak kurang enak bagi saya. Sedangkan Anda selalu ke sana, tidak ada tujuan lain selain rumah, toko bahan makanan dan baju, juga perpustakaan dalam daftar bepergian Anda. Saya sampai bela-bela ikut terus ke perpustakaan. Dan membaca banyak buku di sana, agar bisa menemani. Rupa-rupanya bukan membaca tujuan Anda, tidak lain ialah menulis. Ketika Anda bercerita pasal nama Anda sebagai kuli pena, saya terkejut bukan kepalang. Sebab saya kenal betul nama kuli pena Anda.
Ada beberapa roman yang begitu saya sukai. Yang pengarangnya saya dengar orang lokal, tidak saya sangka itu Anda. Begitu saya sampaikan keterkejutan saya, Anda hilang senyum, menggaruk-garuk kepala, dan segera bergegas pulang. Anda bilang sedang tidak enak badan. Saya tidak mengerti, karena dari awal Anda sangat sehat-sehat saja. Tidak ada tanda sakit juga, jadi saya berpikir Anda tidak senang dengan saya yang ternyata tidak tahu Anda pengarang roman.
Hari-hari setelah itu saya berkeliling kota, mencari apa yang ada kaitannya dengan Anda. Saya mendatangi pencetak romannya, menanyai beberapa surat kabar, hingga saya tahu banyak tentang karya-karya Anda yang ternyata belum semua saya baca. Temu kita selanjutnya saya usahakan tidak membuat sesuatu yang salah. Dari rumah sudah saya canangkan bagaimana secara alami membahas karya-karya Anda. Saya mengungkit kisah cinta tokoh roman Anda dan berandai-andai saya punya kisah yang begitu juga. Sebab semua roman itu berakhir bahagia meski tenggelam dalam masalah.
Sudah yakin saya bahwa Anda akan kembali ke semula. Dan keyakinan saya itu berbanding terbalik dengan kenyataan. Semakin lama Anda mulai menjaga jarak. Ketika hendak ke toko bahan makanan, Anda bilang ingin sendiri saja. Ketika saya akan ikut ke perpustakaan, berkali-kali Anda jadi urung ke sana. Rasanya jarak kita yang sudah memendek, malah makin jauh. Lebih asing kita saat itu ketimbang saat hujan pertama kita. Tidak bisa saya menerimanya begitu saja, jadi saya susunlah rencana lain. Dengan segala macam pertimbangan, saya hendak meminang Anda.
Saya memang banyak hal buruknya, tapi saya tidak main-main dengan rasa ini, saya katakan begitu pada Anda. Sempat tersenyum sesaat, yang membuat saya berpikir Anda akan menerimanya. Dan lagi-lagi Anda hilang senyum. Bahkan satu kata pun tak terucap dari mulut. Hanya pergi begitu saja. Sempat saya mengejar, tapi Anda hanya meneriaki saya untuk tidak mengikuti. Besoknya lagi, besok lagi, lagi dan lagi. Saya kembali pada Anda, dan akhirnya Anda mau bersuara. Berkata pada saya bahwa saya pasti hanya menyukai roman Anda saja, tanpa punya rasa yang benar-benar pada Anda.