Tanah ulayat dan tanah girik adalah dua istilah yang berbeda dalam hukum pertanahan di Indonesia, dan perbedaan ini memiliki akibat bagi masyarakat.
Tanah ulayat merujuk pada tanah yang dimiliki oleh masyarakat adat dan diatur oleh hukum adat setempat. Jenis tanah ulayat dapat mencakup berbagai bentuk, seperti tanah titian, tanah pengairan, tanah kas desa, dan tanah bengkok.
Salah satu ciri utama tanah ulayat adalah bahwa tanah tersebut tidak dapat dengan mudah disertifikatkan, dan jika ada kebutuhan untuk melepaskan hak atas tanah tersebut, prosesnya harus melalui tukar guling (ruislag) atau pelepasan hak yang dikendalikan oleh kepala adat.
Sementara itu, tanah girik adalah tanah yang diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat dengan hak guna usaha (HGU) atau hak guna bangunan (HGB), mengutip (Purnamasari, I Devita, 2010). Tanah girik dapat disertifikatkan dan diperjualbelikan seperti tanah pada umumnya. Perbedaan mendasar antara tanah ulayat dan tanah girik ini telah menimbulkan kontroversi dalam hal kepemilikan, pengelolaan, dan pemanfaatan tanah di Indonesia. Salah satunya konfilk di tanah ulayat Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Nah, artikel ini ditulis bertujuan untuk memberikan pemahaman lebih mendalam tentang perbedaan antara tanah ulayat dan tanah girik, serta dampaknya bagi masyarakat. Semoga bermanfaat telaah tentang kedua konsep ini, diharapkan dapat tercipta solusi yang lebih adil dan berkelanjutan dalam mengatasi masalah pertanahan di Indonesia.
Pengertian Tanah Ulayat dan Tanah Girik
Definisi Tanah Ulayat
Tanah ulayat adalah sebidang tanah yang memiliki hak ulayat yang diakui oleh suatu masyarakat hukum adat tertentu. Hak ulayat mencakup sejumlah wewenang dan tanggung jawab yang dimiliki oleh masyarakat hukum adat terkait dengan tanah yang terletak dalam wilayah mereka. Hal ini telah diakui dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, yang juga dikenal sebagai Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).
Secara lebih rinci, tanah ulayat dapat dijelaskan sebagai tanah yang dikelola secara bersama oleh anggota masyarakat hukum adat. Pengaturan pengelolaan tanah ulayat umumnya ditangani oleh pemimpin adat, yang juga dikenal sebagai kepala adat. Tujuan utama dari pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk kepentingan baik warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan maupun individu dari luar komunitas tersebut.