Lihat ke Halaman Asli

Herti Utami

Hasbunallah wa nikmal wakil

Mekong Delta Trip

Diperbarui: 25 Juni 2015   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

139128562559919261

Salah satu paket wisata tour yang ditawarkan di Ho Chi Minh City adalah menyusuri sungai Mekong. Di setiap hotel paket wisata ini ditawarkan. Tapi paket yang sama harganya bisa berbeda tergantung dari dimana kita memesannya. Sepertinya semakin bagus hotelnya semakin mahal biaya yang dikenakan. Padahal fasilitas perjalanan dan tujuan paket tournya sama, karena memakai bus yang sama. Selain berkumpul di kawasan Pham Ngu Lao yaitu di Bui Vien Street, bus itu juga menjemput pengikut tour dari satu hotel ke hotel lainnya. Kalau ingin mendapatkan biaya yang lebih murah, menurut pengalaman saya bisa diambil di agen yang berada di kawasan backpacker yaitu di Bui Vien street (waktu itu mengambil Tropic Tour). Di kawasan ini banyak sekali agen-agen bis dan tour wisata. Sebenarnya banyak paket tour yang ditawarkan tapi kali ini saya akan menceritakan tentang Mekong Delta Trip. Perjalanan ini dimulai pada pukul 7.45 kami harus siap dijemput di hotel. Dengan menggunakan bus ber-AC, dan ditemani 1 orang pemandu, kami berangkat dari Ho Chi Minh City selama kira-kira 2 jam menuju My Tho City. Dalam perjalanan itu di sisi jalan banyak sawah-sawah yang kami lewati. Hampir sama jika kita melakukan perjalanan di Jawa. Hanya bedanya kalau saya perhatikan di Vietnam setiap sawah pasti selalu ada 1 bangunan seperti makam. Sesampainya di dermaga sungai, kami naik kapal atau perahu wisata untuk menyusuri sungai Mekong.

[caption id="attachment_309676" align="aligncenter" width="550" caption="Perahu sekaligus tempat tinggal di sungai Mekong (dok. Pribadi)"][/caption] Sungai Mekong airnya kecoklatan, dan sepanjang sungai banyak perahu-perahu kecil yang rupanya sekalian dijadikan tempat tinggal. Kondisinya agak memprihatinkan. Saya melihat keluarga yang tinggal diperahu dengan anak-anaknya yang masih kecil. Tapi meskipun sungainya sepertinya kotor karena airnya berwarna coklat begitu, tapi kulit mereka tetap aja bersih dan putih. Selama di perjalanan itu saya jadi teringat ketika menyusuri sungai Musi di Palembang (ternyata di sungai Musi menurut saya jauh lebih baik). [caption id="attachment_196368" align="aligncenter" width="300" caption="Pemandu wisata yang memandu tour"]

1343279646989775891

[/caption]

Setelah beberapa lama menyusuri sungai kami mampir ke suatu desa, yang menurut saya biasa saja, seperti desa-desa di Indonesia. Kami diajak ke suatu tempat untuk pembuatan berbagai makanan. Yang pertama diperlihatkan bagaimana caranya membuat rice paper. Jadi semacam seperti kulit lumpia yang lebar tapi tipis dan bahannya dari tepung beras. Kemudian kami ditunjukkan cara membuat sejenis makanan dari beras yang biasanya saya menyebutnya jipang (makanan yang masih bisa kita temukan di pasar-pasar tradisional di Indonesia). Waktu itu saya baru tahu kalau ternyata jipang itu terbuat dari beras. Mula-mula bulir padi dipanaskan di penggorengan dengan pasir pada suhu tinggi. Maka bulir padi-padi tersebut akan pecah (seperti membuat popcorn atau berondong) dan dipisahkan kulitnya. Lalu beras yang merekah tersebut dimasukan ke air gula, sehingga diperoleh jipang yang manis, lalu dicetak dan dipotong-potong berbentuk kotak. Sementara sekam atau kulit padinya dapat dimanfaatkan kembali sebagai bahan bakar. Kemudian kami disuruh mencicipi langsung ketika masih panas dan berupa gumpalan-gumpalan yang belum dicetak. Rasanya enak.  [caption id="attachment_196369" align="aligncenter" width="300" caption="Membuat rice paper"]

13432798191035027704

[/caption]

[caption id="attachment_196370" align="aligncenter" width="300" caption="Beras yang sudah merekah dan dimasukan ke air gula"]

1343279940642861180

[/caption]

Setelah itu, kami juga ditunjukkan cara membuat coconut candy. Wah, sepertinya keren. Ternyata kami hanya ditunjukkan cara memecah kelapa, sampai dengan membuat santannya. Lalu santan tersebut dicampur gula untuk dibuat permen, dicetak, dipotong kecil-kecil dan dibungkus. Herannya para turis bule yang ikut rombongan, sepertinya mereka excited banget. Dan ketika kami disuruh mencoba, permennya ketika dimasukkan mulut lengket-lengket ngga karuan. [caption id="attachment_196371" align="aligncenter" width="300" caption="Sedang membungkus coconut candy"]

1343280207378876678

[/caption]

[caption id="attachment_196372" align="aligncenter" width="300" caption="Produk makanan-makanan dari beras yang ditunjukkan"]

13432803091346112361

[/caption]

Setelah itu oleh pemandu kami diajak ke tempat lain. Mampir untuk menikmati honey tea. Memang disebutkan di paket tournya : visiting natural pure honey at a bee keeping farm. Waktu itu seorang perempuan Vietnam dengan baju khasnya yang disebut Ao Dai, (yaitu celana dengan baju panjang tunik, dengan belahan tinggi sampai pinggang) menyuguhkan teh yang dicampur dengan madu. Tapi sayangnya teh disajikan hanya dengan gelas-gelas keramik kecil untuk minum teh itu (waktu itu udara panas dan haus). Lalu kami ditawari untuk membeli produk yang berupa madu dan sejenis Royal Jeli. Di tempat itu juga dijual obat-obatan yang seram menurut kami, karena berisi binatang-binatang yang seram (ular, kalajengking dll).

[caption id="attachment_201713" align="aligncenter" width="300" caption="Botol yang berisi ular dan kalajengking"]

13457096391418867216

[/caption] Setelah itu tour dilanjutkan lagi dengan menyusuri sungai. Hingga sampai di ujung sungai yang sangat lebar dan luas (mungkin ini yang disebut Mekong Delta). Lalu perahu menuju ke arah sungai yang agak lebih sempit, atau sungai kecil. Kami berhenti untuk makan siang. Biaya makan siang ini tidak termasuk dalam paket tour. Jadi disitu kami memesan nasi, sup, dan ikan goreng yang disebut dengan elephant ear fish.

[caption id="attachment_201714" align="aligncenter" width="300" caption="Tempat di mana kami makan siang"]

1345709898336010240

[/caption] [caption id="attachment_201717" align="aligncenter" width="300" caption="Ikan goreng yang disebut dengan elephant ear fish"]

1345710069969126600

[/caption] [caption id="attachment_201718" align="aligncenter" width="300" caption="Sajian pelengkap untuk makan ikan"]

1345710224243920650

[/caption] [caption id="attachment_201719" align="aligncenter" width="300" caption="Ikan dll siap dibungkus seperti lumpia"]

1345710388642476204

[/caption] [caption id="attachment_201721" align="aligncenter" width="300" caption="Saus asam manis sebagai pelengkap"]

1345710547350476649

[/caption] Melihat ada nasi, sup dan ikan, wah langsung deh lapar (seandainya ada sambel terasi wow betapa nikmatnya). Ikannya ketika dicicipi rasanya tawar, karena digoreng tanpa bumbu, dan disajikan tegak sehingga terlihat lebar seperti kuping gajah. Lalu kami diajari cara makan ikannya. Ternyata makan ikannya unik, tidak pakai nasi. Jadi lembaran kulit yang mirip lumpia (rice paper), diisi dengan bihun (bahannya juga dari beras), ikan, mentimun, daun selada dan daun mint, lalu digulung mirip lumpia dan dicocol ke saus asam manis, wah ternyata rasanya lezat. Di tempat makan tersebut juga disediakan sepeda-sepeda untuk keliling desa. Tapi hanya turis-turis bule saja yang tertarik untuk bersepeda. Saya pikir, sebenarnya ini ngga desa-desa banget, terlihat jalan aspal yang ada truk lewat. Tapi memang penampilan orang-orangnya yang kelihatan seperti di desa, karena mereka semua pakai caping atau disebut dengan non la, yang memakainya dengan diikat pita merah. Makanan disajikan oleh gadis Vietnam yang memakai caping. Menurut saya, dia sebagai gadis Vietnam yang cantik dan kulitnya putih bersih. Mungkin kalau di Indonesia bisa menjadi bintang sinetron. [caption id="attachment_201722" align="aligncenter" width="300" caption="Serasa jadi perempuan desa Vietnam"]

134571071654000303

[/caption] [caption id="attachment_201726" align="aligncenter" width="300" caption="Dengan sampan kami kembali ke kapal untuk pulang"]

1345710876446454137

[/caption] Setelah cukup beristirahat dan makan siang, dengan menyusuri jalan desa yang banyak buah kelengkengnya kami kembali ke tepi sungai. Ternyata kapal atau perahu yang membawa kami tadi sudah tidak ada, tapi digantikan dengan sampan kecil yang didayung oleh para wanita dan bapak-bapak yang sudah tua. Tiap sampan memuat 4 orang. Terus terang saya agak takut naik sampan ini, karena tidak dilengkapi oleh pelampung dan saya tidak bisa berenang. Tapi apa mau dikata, kami tetap harus naik sampan ini, karena merupakan bagian dari tour. Dan kami juga harus memakai topi caping atau non la yang sudah disediakan, karena hari itu memang matahari bersinar terik. Kami tertawa-tawa karena dengan memakai topi tersebut, serasa menjadi perempuan desa Vietnam. Dengan jarak yang lumayan jauh, dengan sampan kami dibawa ke kapal besar, yang semula membawa kami pergi pada waktu berangkat. Lalu kami kembali menyusuri sungai untuk ke My Tho City, dan dengan bus kembali ke Ho Chi Minh City. Sore menjelang magrib baru kami sampai ke hotel. Dari perjalanan ini saya sangat salut dengan pemerintah Vietnam, yang mampu mengembangkan obyek-obyek sederhana yang dikelola dengan baik menjadi komoditas pariwisata. Kalau dibandingkan dengan Indonesia, ternyata Indonesia jauh lebih kaya obyek-obyek wisata yang lebih menarik. Dari kisah ini, jauh-jauh sampai ke sungai Mekong ternyata saya baru tahu proses pembuatan jajanan jipang, yang kini masih bisa saya temui di pasar.

(Semua foto adalah dokumen pribadi)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline