Kalau dipikir-pikir, demokrasi kita lucu juga. Atau lebih tepat disebut unik kali ya. Ibarat koki, demokrasi kita sudah bisa menyajikan menu pemimpin beraneka rasa. Ada pemimpin rasa gurih, ada rasa manis, ada juga rasa pedas, rasa asem juga ada, rasa hambar bahkan rasa pahit apa lagi, lebih banyak. Kombinasi dwirasa juga ada, misalnya yang asem manis, pahit asin, dll, bahkan aneka rasa dalam satu karakter seperti permen nano-nano, ada juga.
Hebat memang demokrasi kita ini. Mungkin karena Indonesia gudangnya rempah-rempah kali ya, jadi demokrasi kita tidak kehabisan bahan racikan untuk membuat beraneka rasa pemimpin, dari pemimpin negara sampai pemimpin level paling bawah, seperti pemimpin RT misalnya. Racikan bumbunya tidak perlu distandarisasi, misalnya harus pakai garam, atau harus dikukus, atau disangrai dulu. Yang penting pemimpin yang dimasak itu rasanya pas di hati rakyat dan penyajiannya mengundang selera. Kadang ada juga lho, kita sampai menelan ludah jika memandangnya, tapi begitu dicicipi, alamaak… jauh lidah dari selera. Berarti itu kan penipuan namanya?! Kita sebagai rakyat tertipu. Tapi apa boleh buat, ya itulah yang namanya demokrasi Indonesia. Ada juga sih, yang pas antara rupa dengan rasa.
Demokrasi Indonesia ternyata tidak mengikuti rumus hukum dagang, misalnya kualitas menentukan harga. Bahkan cenderung berbanding terbalik. Ada lho, pemimpin yang berkualitas tanpa harus membelinya dengan harga yang mahal. Sebaliknya, ada yang kita beli dengan sepenuh kekayaan kita, tetapi pemimpin yang diperoleh justru rasanya tidak sesuai dengan lidah kita, hanya visualnya saja yang menggoda.
Ya, begitulah kira-kira demokrasi kita, setengah matang seperti telur ceplok. Mudah-mudahan tetap bergizi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H