Lihat ke Halaman Asli

Penulis Membaca untuk Apa?

Diperbarui: 21 Agustus 2020   14:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Judul yang aneh? Mungkin. Penulis membaca untuk apa. Ya, untuk menambah ilmu, nambah wawasan, cari inspirasi. Itu saja? Pertanyaan lanjutan inilah yang setidaknya ingin saya tuliskan, setidaknya untuk mengingatkan saya betapa pentingnya membaca dalam proses menulis. Jadi, untuk apa saya membaca?

Poin 1, untuk tidak abai pada proses penyuntingan. Sebelum menayangkan suatu karya seperti artikel ini, saya membaca kembali apa yang saya tulis. Setidaknya untuk memperbaiki salah ketik agar tidak banyak kata ditulis dengan tidak semestinya. Kemudian, saya juga bisa menambah atau mengurangi kalimat yang sudah saya susun. Beberapa paragraf yang tak perlu juga bisa saya hapus.

Jika tidak melalui proses membaca, tak mungkin saya bisa mengedit tulisan saya sendiri. Penulis yang membaca artikel atau tulisannya sebelum diterbitkan setidaknya punya filter awal, untuk lebih cerdas menyaring kembali apa yang hendak disampaikannya kepada para pembacanya.

Poin 2, untuk menghindari kesamaan isi dengan tulisan karya penulis lain. Langkah ini biasanya saya lakukan ketika ingin menulis naskah untuk buku. Sebelum pandemi corona, saya rajin ke toko buku, setidaknya dua minggu sekali. Tidak harus beli buku, sering kok cuma liat-liat aja. Nah, kalau bermaksud hanya lihat-lihat saja, ke toko bukunya sebaiknya hari libur, Sabtu atau Minggu, karena jumlah pengunjung banyak. Jika kita tidak beli tidak terlalu kentara atau tidak terlalu malu hehe... Beda kalau toko bukunya sepi pengunjung, seperti di hari biasa, Senin-Jumat misalnya, tidak beli terasa kelihatan, dan malu. Ini perasaan saya saja sih.

Datang ke toko buku, saya membaca beberapa buku yang satu tema dengan naskah yang saya tulis. Tujuan utama untuk mencari pembedanya saja. Jadi, ketika saya mengirimkan naskah ke penerbit dan diminta menguraikan keunggulan naskah yang saya tulis, saya bisa menjelaskannya dengan baik. Itu karena salah satu syarat diterimanya sebuah naskah adalah "bedanya apa dengan buku lain yang sejenis?" Di situlah pertanyaan penulis membaca untuk apa menjadi terjawab.

Poin 3, untuk tetap menghargai karya penulis lain.  Meski tidak dalam level "sangat-sangat sering", saya membaca beberapa artikel yang ditulis penulis lain, seperti yang ada di Kompasiana ini. Cara itu membiasakan diri saya untuk menghargai dan menghormati karya orang lain, ikut senang karena banyak orang yang berkarya seperti saya. Bahkan, seperti sering saya katakan, banyak karya yang sangat berkualitas, melebihi kualitas yang ada di dalam tulisan-tulisan saya. Di sinilah saya menaruh hormat, salut, atas kehebatan teman-teman penulis.

Membaca untuk menghargai karya orang lain setidaknya juga menjaga diri saya agar tidak mudah sombong dalam berkarya, bisa tetap rendah hati, namun jangan terjebak pada rendah diri. Itu semua saya lakukan dengan membaca. Tentu saja tidak semua artikel saya baca.

Saya seperti halnya Anda akan membaca tulisan yang sesuai dengan kebutuhan saya, atau seperti bahasa anak muda zaman sekarang, "tulisan yang gue banget". Level tulisan yang gue banget itulah yang sangat mudah menarik minat saya untuk membacanya.  Nah, kalau hati saya mengatakan bahwa artikel yang dimuat "nggak banget", berarti saya tidak akan membacanya. Bukan berarti tulisan yang nggak banget itu tidak bermutu. Hanya saja, tulisan tersebut tidak sesuai dengan apa yang saya cari.

Poin 4, agar saya bisa menertawakan diri saya sendiri. Kata-kata bijak mengatakan, orang yang bisa menertawakan diri sendiri adalah orang yang mudah introspeksi. Ternyata untuk menertawakan diri sendiri itu tidak terlalu sulit. Baca saja tulisan-tulisan kita yang sudah dipublikasikan, jauh-jauh hari sebelumnya. Di situlah biasanya saya menemukan hal-hal yang "memalukan", membuat saya berpikir kok bisa saya waktu itu menuliskannya.

Biasanya tulisan curhatan ringan bisa menjadi bahan untuk menertawakan diri sendiri. Itu karena saya bisa menemukan kelemahan diri saya, atau menemukan hal-hal konyol yang seharusnya tidak dituliskan tapi keburu sudah dituliskan. Nah, diketawain saja biar kita bisa menjadi pribadi yang lebih kuat dan terus mengembangkan diri lewat karya demi karya yang kita buat di hari-hari berikutnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline