Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Para Pejuang Subuh yang Tak Mudah Mengeluh

Diperbarui: 12 Agustus 2020   14:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sebelum pandemi Covid-19, saya sudah "menganggur" di rumah. Kata "menganggur" ini menimbulkan banyak makna. Bagi orang konservatif atau yang masih berpikir bahwa bekerja ya di kantor, maka orang seperti saya, yang beraktivitas di rumah, disebut penganggur. Bahkan, banyak tetangga saya waktu itu sering bertanya kepada istri saya kapan saya akan kerja lagi. Atau, mereka heran karena menurut mereka saya lama sekali di rumah dan tidak kunjung jua mendapatkan pekerjaan.

Sampai sekarang pun, jika definisi orang yang bekerja adalah yang punya kantor, maka saya masih dikategorikan penganggur. Padahal, di sisi lain, saat ini semasa wabah corona, kita dianjurkan untuk bekerja dari rumah. Berbahagialah orang yang baru kali ini bekerja di rumah karena Anda tidak dikategorikan penganggur; bahkan dimuliakan karena berperan serta dalam perang melawan Covid-19.

Namun, saya tidak akan menuliskan definisi menganggur tersebut. Biarlah itu sudah menjadi pengalaman yang telah lewat. Saat ini saya tetap beraktivitas di rumah dan para tetangga sudah tidak lagi menyebut saya penganggur. Apalagi banyak juga sekarang para pria, para suami, yang saya lihat banyak berada di rumah, dibandingkan sebelum corona banyak bekerja di kantor.

Saya akan mengisahkan cerita lain. Saat ini, saya hampir tiap hari, di waktu subuh atau dini hari, mengantar istri ke stasiun, bersepeda motor yang tahun pembuatannya sudah bisa dikategorikan lawas. Sudah sekitar dua tahun ini istri saya yang bekerja di luar rumah, di sebuah lingkungan kerja di daerah Tebet, Jakarta. Namun, selama pandemi Covid-19, istri saya diperbantukan di kantor pusatnya, di daerah Tangerang.

Perjalanan dari Citayam, Depok menuju Tangerang sangatlah jauh. Menggunakan moda transportasi kereta api commuter line, maka waktu subuh atau dini hari menjadi waktu yang tepat untuk berangkat kerja. Jika Anda bertanya, mengapa tiap hari istri saya harus ngantor, padahal ada wabah corona, itu karena lingkup kerjanya merupakan lingkup yang wajib ngantor. Bahkan, selama PSBB pun, istri saya masuk kerja.

Sayangnya, saya tidak bisa menjelaskan jenis pekerjaan istri di tulisan ini. Biarlah saya dan teman-teman yang berkomunikasi dengan saya yang mengetahuinya. Saya akan menuliskan sisi-sisi lain ketika saya mengantarkan istri ke stasiun kereta. Dari rumah menuju stasiun, di waktu subuh atau dini hari, saya mendapatkan makna hidup yang bisa saya tuliskan; dan baru kali ini sempat menuliskan tema ini.

Apakah di waktu pagi buta, demikian istilah lain dari waktu yang sangat pagi, suasana masih sepi? Tidak. Sudah banyak pekerja yang berangkat dari rumah sepagi mungkin agar tidak terlambat ngantor. Dari daerah Bogor maupun Depok, misalnya, saya bisa melihat banyak orang sudah menggunakan kereta rel listrik (KRL). Sebenarnya ini bukan hal baru bagi saya karena sewaktu ngantor dulu pun, saya menggunakan KRL untuk berangkat ke tempat kerja.

Lalu, apa sebenarnya yang ingin saya tuliskan?

Banyak orang mencari nafkah dimulai dari pagi hari, bahkan sangat-sangat pagi menurut istilah saya sendiri. Ada yang naik kereta api, namun ada juga di depan stasiun kereta, banyak pedagang yang sudah mulai beraktivitas. Setiap dini hari, saya melihat beberapa mobil boks mengangkut buah-buahan dari hasil panen para petani dan komoditas tersebut didrop di depan stasiun.

Banyak orang kemudian menjual buah-buahan, seperti jambu, pepaya, apel, dan jeruk, di sekitar stasiun. Ada juga yang kemudian melanjutkan mobilitas kerjanya dengan menjual aneka buah tersebut ke daerah Jakarta. Itu dimulai dari subuh, dini hari.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline