Lihat ke Halaman Asli

Berutang, Memaknai Kesulitan dan Sebentuk Rasa Malu

Diperbarui: 7 Agustus 2020   22:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

pixabay.com

Sebelum mengalirkan ide, membentuk satu tulisan yang utuh tentang utang dan diri saya, izinkan saya menuliskan satu kalimat inspiratif dari Samuel Johnson: "Kehidupan tidak memberikan kepuasan yang lebih tinggi daripada penaklukan kesulitan." 

Kutipan tersebut sangat lekat dengan diri saya, yaitu kehidupan dan kesulitan. Nah, di dalam kesulitan itulah muncul satu kata yang sangat populer, dan sebenarnya tidak enak didengar, yakni 'utang'.

Orang yang berutang sebagian besar karena kepepet. Terpaksa. Itu karena dua kata ini, yakni kehidupan dan kesulitan sedang terjalin erat. Hidup yang sulit tentu saja membutuhkan respons yang sering kali harus cepat dan bijak.  Salah satu respons cepat tersebut adalah dengan berutang kepada pihak lain.

Ada satu lagi yang melengkapi kata 'kesulitan' sehingga kita, atau saya tepatnya, memutuskan untuk berutang. Satu kata tersebut adalah "malu". Ketika saya memutuskan berutang maka ada sebentuk rasa malu, karena orang lain mengetahui kalau saya sedang berada di fase kehidupan yang sulit. 

Ada rasa malu karena saya harus berani menyatakan, "pinjam dong" atau "bolehkah saya pakai uangmu dulu", dan ungkapan lainnya. Itu sangat membebani hati dan pikiran saya ketika memutuskan untuk berutang.

Jadi, kehidupan, kesulitan, dan rasa malu harus saya rasakan jika saya berutang. Namun, beberapa situasi memaksa saya harus berani melakukannya. Saya ambil contoh sederhana saja.

Beberapa waktu lalu saya terpaksa berutang kepada teman karena uang saya kurang untuk membayar uang kuliah tunggal (UKT) anak saya yang baru saja diterima menjadi mahasiswa di sebuah universitas negeri di Jakarta. 

Saya mengumpulkan keberanian untuk menyatakan berutang demi bisa membayar UKT, karena uang yang saya siapkan sebelumnya belumlah cukup untuk membayar.

Kebetulan, teman saya yang seorang dosen memahami kesulitan saya, dan memberikan pinjaman. Bahkan, teman saya merasa bangga memberi pinjaman karena ia ikut senang anak saya bisa masuk kuliah tanpa tes alias lewat jalur SNMPTN.

Contoh sederhana tersebut merupakan kisah nyata. Saya memang berutang dan saya punya kewajiban untuk melunasinya. Ketika menyatakan berutang berarti saya harus memahami bahwa saya sedang berada pada situasi kehidupan yang sulit, dan harus bisa memaknai sebentuk rasa malu, demi mengatasi kesulitan yang sedang saya rasakan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline