Seandainya saja Pramoedya Ananta Toer tidak berulang kali bercerita mengenai Pulau Buru berkaitan dengan pengalaman pribadinya sebagai tahanan politik Orde Baru, tanpa proses pengadilan, mungkin tidak pernah ada narasi menarik mengenai Pulau Buru.
Bisa saja Pulau Buru menjadi kenangan pahit karena ribuan tahanan- bersama Pramoedya- yang diduga terkait kegiatan partai terlarang, mengalami penindasan, kerja paksa, dan kehilangan kebebasan.
Meskipun begitu, sejarah membuktikan bahwa Pulau Buru menjadi sesuatu yang sangat penting bagi Pramoedya. Hal itu terjadi karena di sanalah ia menemukan suara perjuangan untuk mengangkat isu-isu mengenai penindasan, kebebasan, dan kemanusiaan.
Pertanyaan kekinian yang mengedepan adalah: sepeninggal Pramoedya adakah pengarang yang terus setia menyuarakan kegelisahan-kegelisahan tentang Pulau Buru? Apakah kabar mengenai Pulau Buru saat ini baik-baik saja?
Suryakanta Pulau Buru (Pelita Aksara Gemilang, 2023) karya Ha Mays (nama samaran), seorang guru di Makao, Pulau Buru.
Awal tahun 2025, saya menerima kiriman buku kumpulan cerpenJujur, saya sebenarnya lebih suka menyebut dan menuliskan nama asli pengarangnya, Maysaroh Halima, salah seorang Kompasianer. Bukankah nama ini terkesan lebih nges dan dapat dimaknai sebagai harapan yang baik?
Terlebih, bagi saya, penggunaan nama asli bisa membangun reputasi pribadi, mencerminkan kebersediaan bertanggung jawab secara langsung terhadap karya-karya yang dihasilkan dan terasa lebih personal.
Jadi, dalam tulisan ini, saya akan mengganti nama Ha Mays dengan Halima Maysaroh. Maaf kalau ibu guru bahasa Inggris kelahiran Namlea, Buru, 5 November 1988, kurang berkenan dengan apa yang saya lakukan.
Buku Suryakanta Pulau Buru memuat dua belas cerita pendek, didedikasikan agar pembaca tidak hanya mengingat Pulau Buru sebagai tempat pembuangan tahanan politik Orde Baru, tetapi lebih dari itu menampakan bukti sejarah (zaman Belanda), memperlihatkan hasil bumi yang mendunia, kekhasan adat budaya, dan keindahan alam tidak ada duanya.
Peninggalan Belanda sebagai situs menarik di Pulau Buru, terwakili cerpen "Semalam di Fort Defensie". Benteng Kayeli (Fort Defensie), dibangun pada tahun 1785, dijadikan latar cerita yang bergerak di antara tarik ulur dunia nyata dan misteri (tak nyata).
Kebiasaan penumpang melakukan perjalanan Ambon-Pulau Buru menggunakan kapal feri, selama delapan jam, disambung angkutan umum (angkot) ke Namlea selama satu jam, tersirat melalui cerpen "Tragedi Hati Tambang Emas di Pulau Buru".