Keteladanan, kemonceran, dan ketokohan sosok penyair Yogyakarta, Iman Budhi Santosa (IBS), terwakili oleh penerbitan buku Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (Utama Offset Yogyakarta), tak lama setelah ia berpulang ke alam keabadian pada hari Kamis, 10 Desember 2020.
Setidaknya ketidakrelaan sekaligus rasa cinta dan penghormatan atas kepergiannya tertuang dalam kata pengantar buku tersebut.
"Nunggak Semi menjadi doa sekaligus ungkapan terima kasih. Apa-apa yang telah diupayakan: catatan, ingatan, goresan, rekaman cahaya juga hal-hal lain yang luput dan terlewat. Semua-muanya, segenap yang dihimpun ini akan menjadi tunggak. Kelak di kemudian hari, berkat kebaikan banyak pihak bisa trubus, bersemi kembali.
Buku ini sebagai ungkapan terima kasih kepada sosok manusia Iman Budhi Santosa. Manusia dengan segenap laku, lara lapa, dan lakon urip. Manusia dengan tidak banyak keraguan menyerahkan sebagian besar hidupnya untuk banyak orang. Buku ini pun sekaligus pisungsung, tandha yekti, tandha tresna, tanda mata, dan tanda betapa Swargi adalah orang baik yang Tuhan telah dengan pasti mengetahuinya," tulis Latief S Nugraha dkk.
Buku setebal lima ratus halaman lebih itu ditulis tidak kurang dari delapan puluh orang yang memberi kesaksian mengenai pitutur, kesederhanaan, dan penghayatan IBS terhadap jagat kesusasteraan/kepenulisan.
"IBS tidak pernah menyatakan bahwa pelajaran penting menghayati objek dan peristiwa adalah bagian pokok dalam menulis. Tidak pernah. Saya menduga, ini sengaja dilakukannya agar "si (calon) murid" mengalami seleksi alam. Kalau kuat ya lanjut, kalau tidak ya ngglangsar," tulis Hasta Indriyana, penyair kelahiran Gunungkidul yang nyantrik cukup lama di Sor Sawo (di bawah pohon sawo) Dipowinatan-rumah kontrakan IBS.
Dijelaskan lebih jauh oleh Hasta bahwa selain bagian dari mendidik mental, hal itu bertujuan agar objek dan peristiwa diketahui betul oleh muridnya (puisi-puisi IBS banyak yang lahir dari observasi langsung).
Mereka dipaksa berpikir sendiri tentang apa yang akan dicari ketika menemui sang begawan. Artinya, pelajaran yang khusus membahas tentang teknik penulisan harus dipelajari sendiri sambil jalan. IBS lebih banyak memberikan pelajaran tentang isi, apa yang akan dituliskan.
Sebagai muridnya, Hasta membaca buku-buku IBS, mempelajarinya, mencoret-coret hal-hal yang dianggap penting, niteni pola tulisan, mengamati gaya dan sudut pandang bidikan, dan tentu sesekali bertanya kepada IBS jika tidak memahaminya.
Bagi Cak Kandar (Interlude), IBS tidak bisa dipisahkan dari peta pertumbuhan dan perkembangan sastra Yogyakarta. Bahkan sosok IBS merupakan "guru" dalam memaknai sangkan paraning dumadi.
Untuk itu dalam rangka mengenang seribu hari kepergian IBS, Interlude menandainya dengan penerbitan buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung, setelah sebelumnya menerbitkan buku Magetan: Bumi Kelahiran (Interlude, 2023).