Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Krishna Mihardja: Ulang-Alik Sastra sampai Nyawaku Kembali Lagi

Diperbarui: 5 Desember 2024   15:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Krishna Mihardja (kiri depan) sastrawan serba bisa/Foto: Hermard

Mungkin saja dalam dunia kreativitas bersastra, lelaki asal Pirak Bulus, Godean, Yogyakarta ini merupakan salah satu sastrawan dengan energi berlebihan. Betapa tidak, ia setia melakukan perjalanan ulang-alik dalam jagat sastra Jawa dan sastra Indonesia. Di samping memiliki kemampuan menulis puisi, geguritan, cerita pendek, cerkak, novelet, novel, naskah sandiwara radio, mantan guru matematika pun mampu membaca karya sastra dengan baik, bisa nabuh gamelan.

Prestasi Krishna Mihardja sudah mendapat pengakuan dengan banyaknya penghargaan yang diterima, antara lain Penghargaan Pendidikan Bidang Sastra (Kemendiknas, 2003), Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Bahasa Kemendikbud (2011) untuk kumpulan crita cekak Bibir, Penghargaan Sastra Rancage (2013), dan Penghargaan 40 tahun Berkarya Sastra dari Badan Bahasa (2024). Ia termasuk sastrawan luar biasa karena menerbitkan novel Omah (Interlude, 2020) dengan ketebalan seribu halaman lebih! 

Saat bersilaturahmi ke Omah Ampiran (3/12/2024), obrolan membelabar dari hal remeh-temeh, proses kreatif bersastra, sampai kehidupan sastra di Yogyakarta.

Obrolan di Omah Ampiran bersama Krishna Mihardja, Agus Suprihono, Dhanu Priyo P, dan Dedet Setiadi/Foto: Hermard

Bagaimana awal mula tertarik dengan dunia tulis-menulis?

Saya pertama kali menulis di media dalam bahasa Indonesia berupa puisi. Pertama kali dimuat sekitar tahun 1976 saat menjadi mahasiswa Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Ilmu Eksata IKIP Negeri Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta). Judulnya "Parangtritis", dimuat dalam rubrik Insani, harian Masa Kini, Yogyakarta. Mungkin karena saya suka pantai. 

Beberapa waktu kemudian, puisi "Hitamnya Pantai Samas" memenangi lomba cipta puisi IKIP Negeri Yogyakarta, melawan mahasiswa jurusan Sastra. Ini merupakan momen yang mendongkrak kepercayaan diri saya, ternyata mahasiswa matematika bisa juga jadi calon penyair! 

Mas Krishna bangga atas pencapaian itu?

Pencapaian itu semakin membuat saya membabi buta dalam belajar menulis puisi. Bahkan saya kemudian menulis cerpen, esei pendek, dan lainnya. Pokoknya yang bisa dihasilkan dari mesin ketik segera saya bikin.

Saat itu, energi menulis saya terasa menggelegak. Bahkan saya ingat "petuah" Mas Suwarno Pragolapati (Warno), sastrawan senior, yang meminta agar saya menulis apa pun agar menjadi penulis sesungguhnya, disegani.

Kemudian menjadi penyair?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline