Seorang perempuan itu tegap berdiri
Di kepal tangannya tumbuh bara api Menyala menjadi-jadi
Ribuan perciknya tumpah ruah di tanah
Jadi kembang, kumbang, taman bunga Kadang juga kata-kata,
Di antara kata-kata itu, timbul bising suara orasi mimpi dan keadilan
Seorang perempuan yang mengepal bara api
Berdiri kokoh di antara kerumunan yang di atas kepalanya tumbuh melati la menarik petir dan hujan dari langit
Sedang kerumunan di bawahnya ia sirami dengan kasih
Mekar, harum, mewangi
Begitulah penggalan puisi "Perempuan Semesta" yang dibacakan penuh penghayatan, sangat ekspresif. Bukan itu saja, Sotyarani Padmarintan-biasa disapa Rintan, tahu betul bagaimana cara "menghipnotis" peserta dan juri Lomba Cipta Baca Puisi memperingati HUT ke-79 PGRI dan Hari Guru Nasional tahun 2024 Tingkat Kota Yogyakarta (7/11/2024) di SD Keputran A Yogyakarta.
Tenaga pendidik SMP Negeri 1 itu membaca kata demi kata dengan mempertimbangkan ketepatan makna yang ingin disampaikan.
Jika membaca puisi dapat diartikan sebagai mengungkapkan kembali gagasan pengarang dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan, maka di sinilah titik keberhasilan pembacaan Rintan.
Keindahan bunyi-bunyi bahasa dipertimbangkan dengan matang dari segi kekuatan vokal (power), nada, speed, dan timbre. Kepiawaiannya mengekspresikan teks sastra ditunjukan dengan kemampuannya menghidupkan, memberi "nyawa" teks sastra.
Kata-kata tertentu diberi penekanan, deretan kata-kata ada yang dibaca cepat dalam satu tarikan napas, ada pula yang sengaja dibaca lambat.
Cara ini berefek pada kedinamisan seluruh pembacaan. Memunculkan kesadaran audience bahwa puisi pun memiliki tangga dramatik dalam pembacaannya. Sesekali wanita semampai itu menggerakan tangan dan tubuhnya, membuat kehadirannya terasa atraktif.
Soal penghayatan terhadap puisi tidak dapat diragukan lagi karena puisi yang dibacakan merupakan ciptaannya sendiri.
"Tema yang ditentukan panitia berkenaan dengan guru. Tapi saya kerucutkan lagi dengan mengangkat sosok guru perempuan. Proses penciptaannya pun tidak terlalu sulit karena inspirasinya di depan mata. Intinya berbicara tentang bagaimana seorang guru yang berjuang untuk anak didiknya," jelas Rintan saat ditanya mengenai proses kreatif penciptaan puisinya.
Tidak kalah menarik adalah saat Nora Septi Arini, guru SD Muhammadiyah Sapen, membacakan puisi "Balada Generasi Emas". Masih teringat penggalan puisi yang dibacakan finalis lomba baca puisi Helvy Tiana Rosa 2021 tingkat nasional itu.
Suatu ketika,
pada muram cahaya kita akan menghafal semai perjalanan meski sedikit kegagalan merangkak dari sejarah mengaduh di batang padi laksana rapal mantra Dewi Sri jemawa kirimkan doa-doa dengan lima kobar nyala api dan memekikkan : Beri aku titian untuk menapaki liku jalan kehidupan
Suatu ketika
kita akan menangisi kerutan usia yang tergantung di pintu-pintu sedang mimpi-mimpi bergegas menuju lima kobar nyala api mengejawantahkan langkah menuju bara peradaban generasi emas dan harapan
Keelokan pembacaan Nora karena ia sudah sampai pada kesadaran bahwa bahasa, kata, dan bunyi atau suara merupakan perangkat ekspresi seorang pembaca. Lewat perangkat itulah harmonisasi pembacaan, perhatian, dan emosi audience dimanjakan, serta imajinasi penonton diarahkan.