Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Menjauhkan Kesendirian dalam Pernikahan

Diperbarui: 6 November 2024   14:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dikoyak sepi/Foto: Hermard

"Jangan pernah menikah kalau hanya menimbulkan penderitaan baru," begitulah pesan orangtua saat saya akan menikahi Ibu Negara Omah Ampiran. Nasihat tersebut menjadi motivasi bagaimana saya harus ngopeni diri sendiri, istri, dan rumah tangga dengan tidak mengecewakan harapan orangtua serta orang-orang terdekat.

Saat ini sudah tiga puluh tahun lebih usia pernikahan kami dan semua berjalan baik-baik saja. Kalau toh ada riak-riak kecil persoalan dalam rumah tangga, bukankah hal itu terjadi sebagai proses pendewasaan berumah tangga?

Riak-riak kecil itu kami jaga agar tidak menjadi gelombang besar yang mampu meruntuhkan bangunan kokoh cinta sejati. Terlebih setelah diberi momongan

Jujur, saya tak ingin terjebak dalam perangkap lonely marriage setelah langkah panjang pernikahan. Hal ini tentu tidak mudah dilakukan tanpa kesepakatan dan penyesuaian diri dengan Ibu Negara. 

Bagi saya, modal utama untuk tidak merasa sepi, sendiri, sunyi, setelah mengarungi bahtera rumah tangga adalah komitmen untuk selalu bersama dengan pasangan dan anak-anak. Baik kebersamaan dalam pemikiran, emosional, maupun minat.

Kebersamaan bukan terbatas kegiatan merayakan tanggal-tanggal istimewa, seperti ulang tahun kelahiran, pernikahan, hari raya, pakansi bersama, tetapi juga saat mengambil keputusan besar. 

Ketika ingin keluar dari omah tabon (rumah milik orangtua), misalnya, saya yang semula bersikeras tidak ingin hidup di lingkungan perumahan-konon tetangga selalu rese-toh pada akhirnya harus berpikir jernih, mengikuti pikiran logis wanita pendamping.

"Anggapan orang tentang hidup di perumahan belum tentu benar, Mas. Sekarang uang kita terbatas. Jika beli tanah, besok-besok memikirkan beli material bangunan, cari tukang, bayar tukang. Mendingan juga cari perumahan. Kita tahunya beres, rumah siap huni, tinggal mengangsur lewat KPR," desak Ibu Negara Omah Ampiran.

Akhirnya kami bersepakat mengambil perumahan pada awal tahun 1990-an dengan uang muka dari tabungan plus hutang koperasi. Uang muka dimaksimalkan, sehingga angsuran per bulannya tidak lebih dari sepertiga gaji. 

Benar kata Ibu Negara, hidup di perumahan ternyata tidak semengerikan dalam bayangan. Justeru sebaliknya, kami hidup rukun dan guyub dengan tetangga perumahan maupun tetangga desa. Tentu dukungan Ibu Negara begitu besar demi mendapatkan rumah hunian dan meyakinkan saya bahwa semua akan baik-baik saja.

Rumah lewat KPR/Foto: Hermard

Setelah dua puluh tahun lebih hidup di perumahan, berlokasi di pedesaan, dan anak-anak ada yang sudah bekerja serta ada pula yang masih kuliah, kami harus pindah rumah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline