Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra

Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angan-angan Museum Sastra/Foto: Latief S Nugraha

Judul tulisan ini sama persis dengan apa yang terpampang di bagian depan gedung MCC Tepi Sabin, Tegalrejo RT 03, Kelurahan Bawuran, Kapanewon Pleret, Kabupaten Bantul. Bangunan tersebut dijadikan tempat pelaksanaan pameran Azimat-Siasat dalam rangka perhelatan Festival Kebudayaan Yogyakarta 2024. Pameran Azimat-Siasat merupakan pameran seni rupa dan arsip lini masa sastra yang memperlihatkan gerak dinamika sastra di Yogyakarta pasca kemerdekaan hingga kini.

Untuk menyamakan persepsi pengunjung, maka di salah satu dinding gedung, panitia mencatatkan semacam visi menyangkut pameran arsip sastra lewat baliho besar: Ibarat wastra lungsed ing sampiran, pakaian lusuh di gantungan; arsip sastra Yogyakarta yang tak ternilai harganya akan bernasib malang jika tidak dipergunakan. 

Padahal, dinamika sastra di Yogyakarta selama ini telah memberi sumbangsih yang berarti di dalam arena sastra Indonesia. Tidak hanya untuk dilirik, keping-keping sejarah sastra Yogyakarta menarik untuk ditilik. Sebuah jejaring dari divergensi keberadaan arsip sastra dibutuhkan demi mewujudkan cita-cita andaikata Yogyakarta punya museum sastra.

Azimat-Siasat/Foto: Fitri Merawati

Keinginan mewujudkan museum sastra dan ungkapan wastra lungsed ing sampiran, mengingatkan pada gagasan yang pernah saya tulis di harian Kompas edisi Yogyakarta hampir dua puluhan tahun silam. Lewat tulisan "Pusat Dokumentasi Sastra: Why Not...?" (Kompas, 10 Mei 2005).

Secara personal saya mengungkapkan persoalan mengapa kota Yogyakarta sebagai kota budaya, seni, dan sastra, tidak mempunyai Pusat Dokumentasi Sastra? Kalah telak dengan Jakarta sebagai ibu kota sekaligus kota metropolis yang memiliki Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. 

Padahal kota Yogyakarta banyak memunculkan seniman dan sastrawan-sastrawan besar serta berpengaruh di Indonesia. Sebut saja misalnya Umar Kayam, Linus Suryadi Ag, Umbu Landu Paranggi, Kuntowijoyo, Ragil Suwarno Pragolapati, Rendra, dan Emha Ainun Nadjib. 

Bahkan sastrawan besar yang kemudian tinggal dan menetap di Jakarta, mereka pernah berproses kreatif di Yogyakarta yang dijadikan semacam kawah candradimuka.

Sebut saja nama Sapardi Djoko Damono, Soebagio Sastrowardoyo, Satyagraha Hoerip, Putu Wijaya, semua sastrawan Indonesia papan atas itu, proses kreatifnya tidak dapat dilepaskan dari kota bernama Yogyakarta.

Arsip sastra Yogyakarta/Foto: Devi Puspitasari

Saat itu gagasan yang saya lontarkan hanya sebatas pusat dokumentasi, bukan museum. Artinya apa yang saya kedepankan terasa lebih sederhana, berkaitan dengan upaya mendokumentasikan bahan-bahan tekstual. 

Sedangkan kehadiran museum sastra masih dalam awangan ngaluk-aluk, nggedabyah, karena kehadirannya tidak saja memerlukan dukungan koleksi tekstual hasil kerja kreatif, melainkan harus berurusan dengan persoalan di luar tekstual, misalnya saja benda-benda memorabilia atau kenangan berkenanaan dengan kehidupan sastrawan. Di samping itu pengelolaan museum memerlukan dana, pemikiran, dan tenaga yang tidak kepalang tanggung.

Diskusi Wicara Sastra/Foto: dokpri Hermard

Dalam diskusi Wicara Sastra Festival Kebudayaan Yogyakarta bertema "Andaikata Yogyakarta Punya Museum Sastra" di MCC Tepi Sabin, Bawuran, Pleret (16/10/2024), Esha Tegar Putra (Sastrawan dan Peneliti) yang pernah bekerja di bagian arsip Dewan Kesenian Jakarta, menyayangkan jika museum sastra hanya berisi teks sastra.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline