Dalam acara Apresiasi Pemahaman dan Pemaknaan Kata yang diselenggarakan Rumah Literasi Blora bekerja sama dengan Pusat Pembinaan Bahasa dan Sastra, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (8/10/2024) bertempat di Joglo Herman, Blora, Herry Mardianto mengungkapkan tugas pembaca adalah merealisasikan kata atau kalimat yang tertulis agar dapat dikenali, diidentifikasi, dan dimengerti audience. Supaya puisi dapat dipahami dan dinikmati dengan baik, maka pembaca dituntut memberikan bentuk realisasi estetik kepada keseluruhan bunyi dalam sebuah karya sastra.
Tidak dapat dipungkiri jika hakikat membaca puisi adalah merealisasikan kembali perwujudan bunyi yang semula tertuang dalam bentuk lambang atau huruf. Oleh sebab itu, membaca puisi tidak lepas dari upaya mengungkapkan kembali ide pengarang dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan.
Keindahan bunyi-bunyi bahasa setidaknya ditentukan oleh volume, nada, speed, dan timbre. Dengan kata lain, membaca merupakan kegiatan berkreasi dalam ranah vokalisasi. Seorang pembaca harus berkreasi agar dapat mengekspresikan teks puisi dengan baik, pembaca mampu "menghidupkan" atau "memberi nyawa" dalam bentuk lisan.
Disinggung pula bahwa dalam pembacaan sastra (puisi) ada dua hal penting yang harus dipahami. Pertama, dunia pengungkapan ide dan kedua adalah dunia pertunjukan seni. Artinya dalam pembacaan puisi, maka proses interpretasi harus dilakukan untuk memahami gagasan penulis (penyair).
Sedangkan di wilayah seni pertunjukan, seorang pembaca harus memahami berbagai media pendukung yang mampu mewujudkan kualitas dan intensitas vokal, gerak, permainan, serta penikmatan. Media tersebut dapat berupa tempat/seting, lighting, illustrasi musik, sound effect, kostum, dan make up.
Dalam sesi kedua, Landung Simatupang memaparkan bahwa membaca puisi merupakan alih media dari dunia teks ke dunia panggung. Tuntutannya jangan memperalat puisi menjadi tunggangan pembaca, sehingga yang diingat penonton adalah pembacanya, bukan puisi yang dibacakan.
Penyuaraan puisi atau prosa, mengajak kita kembali ke dunia purba. Kembali ke situasi ketika belum ada tulisan. Kata adalah bunyi, bagaimanapun sastra bukan sekadar tulisan tapi yang lebih penting perwujudannya dalam bunyi.
Bunyi kata itu memiliki daya. Berbagai rapal meskipun hanya berupa bunyi-bunyian, tidak dapat dipahami artinya, tetapi memiliki daya atau tuah.
Makna bahasa sastra tidak hanya kognitif, tetapi juga memiliki makna afektif dan emotif. Ada dinamika dan roh tersendiri dalam pengucapan, pembacaan sastra.
"Membaca dan membacakan mempunyai makna berbeda. Membaca bisa melibatkan batin, sedangkan membacakan melibatkan orang lain, mengolah kemampuan dalam vokalisasi."
Tuntutan membaca adalah menafsir, memahami, memberi makna, dan membacakannya. Kalimat tulis ketika dibacakan akan menimbulkan banyak penafsiran, tergantung intonasi dan konteksnya. Penyampaian bunyi itu serurut dengan penafsiran pembaca.
Tidak semua kata dalam kalimat itu penting. Harus ada jeda untuk memberi penekanan. Penonjolan itu ditentukan juga oleh kontras, tinggi rendah pengucapan.
Dalam memberi kesan dan pesan pelaksanaan kegiatan, Tri Yuli (SMA Negeri 1 Blora) menyatakan senang terlibat dalam kegiatan ini karena mampu membangkitkan kreativitas para guru. Terlebih materi yang diberikan belum pernah didapatkan. Para guru haus materi penulisan dan pembacaan seperti yang disampaikan para pemateri. Semua memberi makanan jiwa. Kepada Rumah Literasi Blora, semoga dapat memberi kesempatan lagi bagi komunitas literasi di Blora untuk mengembangkan wawasan di bidang kebahasaan dan kesastraan.