Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Menyikapi Pilkada agar Lebih Bermartabat

Diperbarui: 29 September 2024   18:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pemilu 2024 | KOMPAS.COM/Andika Bayu Setyaji

Kalau boleh jujur, dalam beberapa kali pelaksanaan pemilihan kepala daerah, entah itu Walikota, Bupati beserta wakilnya, Anggota Legislatif-maaf di tempat saya tidak ada pemilihan Gubernur- saya bertingkah seperti Si Polan yang membeli kucing dalam karung, tebak-tebak buah manggis. Setidak-tidaknya saya mencoblos nama yang pernah saya dengar atau sosok yang fotonya sempat saya lihat di koran, media sosial, layar televisi, baliho, dan merasa orang tersebut pernah berbuat sesuatu untuk kota saya.

Penentuan siapa yang akan saya coblos berlangsung secara spontan,  hanya beberapa menit saat berada di bilik suara. Hal ini saya lakukan sekadar menggunakan hak suara, biar tidak dicurigai sebagai anggota barisan panjang golput. Atau secara politis, saya sudah melaksanakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pelaksanaan Pilkada secara langsung oleh rakyat.

Sebelum melakukan pencoblosan pun saya dibayang-bayangi idealisme positif bahwa perhelatan tersebut diselenggarakan sebagai bukti partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pemerintahan daerah, memperkuat keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Meskipun saya sebagai masyarakat benar-benar tidak tahu secara pasti program kerja yang  ditawarkan para calon pemimpin daerah.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa Pilkada 2024 tidak hanya menjadi ajang kompetisi politik, tetapi juga merupakan kesempatan bagi seluruh elemen masyarakat dalam memperkuat fondasi demokrasi lokal menuju Indonesia  lebih maju dan sejahtera. 

Pertanyaannya, apakah masyarakat kita sudah menyadari sepenuhnya hakikat demokrasi? Mengapa pada tahapan awal, saat pengundian nomor urut peserta Pilkada, sudah terjadi gegeran di beberapa daerah? 

Jangan-jangan apa yang diungkapkan Mochtar Lubis mengenai ciri masyarakat Indonesia, salah satunya masyarakat yang barbar, menemui kebenarannya. Buktinya, soal nomor urut saja mampu memantik emosi. 

Di sisi lain, para remaja suka tawuran, orang dewasa serempetan mobil di jalan raya, seketika memamerkan arogansi berlebihan, salah paham sedikit saja gegeran, hantam kayu, main keroyokan...

Janji-janji Manis

Tidak dapat dipungkiri bahwa Pilkada merupakan salah satu instrumen demokrasi yang penting di Indonesia dalam  menentukan pemimpin daerah. Eloknya, di balik praktik pesta demokrasi, selalu diwarnai dengan janji-janji manis guna menarik perhatian masyarakat calon pemilih. 

Janji-janji manis calon pemimpin daerah itu berkaitan dengan  peningkatan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, penyediaan air bersih, pendidikan gratis, peningkatan kesehatan, bantuan dana pengembangan desa, internet gratis, hingga menciptakan berbagai lapangan pekerjaan untuk meminimalisir pengangguran.

Program kerja yang ditawarkan pun  terasa begitu manis di bibir, berpihak kepada masyarakat-wong cilik, seakan-akan semua masalah pelik dapat teratasi dengan mudah asal mereka terpilih sebagai orang nomor satu atau nomor dua di daerah. Sejurus kemudian, saya teringat dengan bahasa iklan pegadaian yang cukup memasyarakat: (mereka) mampu mengatasi masalah tanpa masalah!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline