Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Nasib Baik Aksara Ulu di Tangan Rapanie

Diperbarui: 16 September 2024   17:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aksara Ulu (Foto: Kompas-Rhama Purna Jati) dan Rapanie (Foto: Hermard)

Bukanlah suatu kebetulan saat Omah Ampiran (11/9/2024) kedatangan tamu "istimewa", Ahmad Rapanie Igama (60), pelestari aksara Ulu (Kaganga) Sumatera Selatan, penerima Anugerah Seni Batanghari Sembilan kategori Seni Sastra Gubernur Sumatera Selatan, Anugerah Kebudayaan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia kategori Pelestari (2016).

Usai mengikuti kegiatan Temu Aksara di Rumah Lifepatch, Bausasran, Yogyakarta, kemudian singgah ke Omah Ampiran dengan obrolan seputar aksara, sosial budaya, perkembangan sastra bersama Noer Indrijatno, pendiri Komunitas Rumah Literasi Blora.

Dulu ketika kuliah di Fakultas Sastra UGM, kami terlibat dalam penerbitan majalah mahasiswa sastra Indonesia, Humanitas, sama-sama tergabung dalam kelompok musik Watoni (waton muni-asal bunyi), aktif di Kelompok Pencinta Sastra Bulaksumur (KPSB), dan menyelenggarakan berbagai acara seminar, simposium sastra.

Setelah beberapa saat ngobrol,
Rapanie (panggilan akrabnya), tanpa rasa canggung mengkritisi situasi sosial budaya masyarakat Indonesia saat ini.

"Sekarang banyak dari kita yang abai terhadap kebudayaan, sehingga solidaritas menurun jauh. Ada yang suka menghujat, ngomong seenaknya tanpa mikir-mikir lagi. Di samping terlalu banyak omong, kita juga terlalu banyak makan. Buktinya korupsi di mana-mana, maling di mana-mana. Untungnya bangsa kita tidak terlalu banyak tidur, masih mau kerja dan kerja-kerja," ungkapnya dengan nada prihatin.

Begitulah, polusi omongan terjadi di mana-mana. Sehingga yang namanya dusta menjadi banyak, kejujuran semakin sedikit. Fakta pun menjadi semakin sedikit, dibandingkan dengan realitas. Artinya, dalam kehidupan sekarang ini, orang lebih mengutamakan realitas artifisial daripada fakta, data sesungguhnya.

Aksara Kaganga/Foto: indonesiaplus.id

Aksara Simbol Peradaban

Begitu lulus kuliah, lelaki kelahiran tahun 1964 itu bekerja di Museum Balaputradewa, Disbudpar Palembang, dan kemudian
menjabat sebagai Kepala Taman Wisata dan Budaya Sumatera Selatan (2015-2016).

Ketertarikan terhadap aksara Kaganga dan naskah Ulu dimulai pada tahun 1996, saat menjadi pamong budaya Bidang Filologi Museum Negeri Sumsel, Balaputradewa. Museum Negeri Sumsel memiliki empat naskah beraksara Kaganga. Dua naskah berupa kakhas (semacam kitab terbuat dari kulit kayu), satu naskah gelumpai (berbentuk buluh bambu), dan satu naskah gelondongan dari bambu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline