Lelaki asli Pirakbulus, Godean, Sleman itu tak bisa menyembunyikan wajah sumringah-nya begitu sampai di Omah Ampiran (30/8/2024). Sehari sebelumnya, Sukrisna yang lebih dikenal dengan nama Krishna Mihardja, baru saja pulang dari Jakarta sebagai salah seorang penerima penghargaan dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa atas dedikasinya yang tinggi selama empat puluh tahun berkarya dalam bidang kesastraan. Ada lima puluh satu sastrawan penerima penghargaan dan tujuh puluh orang penerima bantuan komunitas.
Kebetulan di Omah Ampiran sudah hadir pula Dhanu Priyo Prabowo (pengamat sastra, juri Rancage), Agus Suprihono (sastrawan Jawa, penggerak kesenian tradisional), dan Dedet Setiadi (penyair Jawa Tengah). Sebelumnya Dedet mengirim pesan Whats App kalau akan mampir ngopi bersama Dhanu.
Seketika Omah Ampiran ramai dengan obrolan seputar gegar budaya, proses bersastra, pendokumentasian karya, dan cerita konyol bagaimana orang di desa mendapat ganti untung proyek tol Yogya-Bawen, lalu membangun rumah dengan kamar mandi dilengkapi shower, kloset, tapi kalau buang air tetap pergi ke sungai...
Kompas (14 Maret 1993), dan cerkak "Ki Dhalang" dimuat majalah Horison.
Sudah selayaknya jika pensiunan guru Matematika di SMP Negeri 15 Yogyakarta itu menerima penghargaan karena benar-benar produktif dengan karya-karya berkualitas, tidak sekadar kacangan. Cerita pendek berbahasa Jawa, "Sandhal Jinjit", misalnya, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, dimuatKrishna menerima Penghargaan Cerpen Terbaik Sanggar Sastra Triwida (1995), juara Penulisan Puisi Lirik Dewan Kesenian Kota Yogyakarta (2000), mendapat Penghargaan Pendidikan Bidang Sastra dari Mendiknas (2003), Penghargaan Sastra Rancage (2013), juara Penulisan Drama Radio Bahasa Jawa (2019).
Pengakuan atau legitimasi tentu saja memerlukan proses panjang. Baik dari kesetiaan berkarya, pendokumentasian, dibarengi dengan upaya terus meningkatkan kualitas penciptaan karya.
Apakah hal ini mudah? Tentu saja tidak. Persoalan pendokumentasian karya, misalnya, memang terlihat sepele. Tapi sering diabaikan, sehingga saat diperlukan, penulisnya sendiri kelabakan karena tidak menyimpan karya yang ditulis puluhan tahun silam. Baik berupa kliping surat kabar maupun dalam bentuk buku terbitan. Kelemahan pendokumentasian karya ini dilakukan oleh banyak penulis sastra.
"Saya menulis mulai tahun 1979 berupa puisi dalam antologi Mahasiswa Asean, Suara Tujuh Sembilan, dan sampai saat ini masih tersimpan sebagai bukti awal proses kreatif penulisan sastra," jelas Krishna yang selalu bangga jika karya-karyanya berhasil diterbitkan.
Meskipun sudah memiliki puluhan buku karya sastra, menulis berbagai genre sastra, tetap tidak berhenti menulis. Tahun ini saja ia menerbitkan ulang kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa "Ratu" (Interlude, 2024) dan tiga buku lainnya dalam persiapan terbit: Lading, Gagak (keduanya berupa antologi cerpen berbahasa Jawa), dan sebuah antologi cerpen berbahasa Indonesia yang sampai hari ini belum terpikirkan judulnya. Sedangkan novel berbahasa Jawa, Watu Tiban, tengah dalam proses penulisan.
Kalaupun harus diterbitkan dengan dana pribadi, Krishna tak segan-segan merogoh uang dari kocek sendiri. Strategi yang ia pakai adalah dengan menggunakan uang dana abadi. Artinya, uang hadiah selama ini (termasuk bantuan pemerintah lewat penghargaan atas dedikasi barkarya selama 40 tahun) disisihkan sebagian, khusus untuk menerbitkan buku.
Kalau buku sudah terbit dan terjual, ia tidak mengambil royalti. Uang royalti itu digunakan untuk menerbitkan buku selanjutnya.