Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Pak Mardjoko, Smartphone, dan Garengpung

Diperbarui: 10 Agustus 2024   12:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menghayati hidup di desa/Foto: Hermard

"Piye wis ketemu buk'e Nisa? Sida butuh endog bebek ora?-Bagaimana, sudah ketemu dengan ibunya Nisa? Jadi mengambil telur bebek tidak?" tanya Pak Mardjoko singkat kepada Tantri, menantunya.
"Pun, wau sampun kula WA-Sudah tadi lewat WA," jawab Tantri, perempuan tinggi besar jebolan SLTA.
"Sak iki-ki apa-apa kok nganggo WA. Mbok ya ketemu  ki ngapa?  Lak ya isa takon langsung, dikaruhke-Sekarang apa-apa kok lewat WA. Sebaiknya bertemu dan bisa bertanya langsung sambil silaturahmi," balas Pak Mardjoko gusar.

Dialog singkat itu memperlihatkan bahwa orang-orang  tua seperti Pak Mardjoko (68) di wilayah pedesaan justeru merasa terusik dengan kehadiran gawai, smartphone

Pasalnya, dengan tetangga hanya berselang dua rumah saja, menantunya mengandalkan kecanggihan gawai. Lelaki berkulit legam itu merasa  relasi sosial seakan-akan dinihilkan oleh smartphone.

Keluarga Pak Mardjoko tinggal di desa  Mlati, Sleman, tiga belas kilometer  di sisi barat kota Yogyakarta. Sebuah desa yang masih akrab dengan acara perayaan (gotong royong), nyadran (nyekar bersama ke makam menjelang bulan puasa), lek-lekan bayen (masyarakat berjaga malam hari saat ada tetangga melahirkan bayi). 

Sapi keluarga Pak Mardjoko/Foto: Hermard

Bahkan setiap salah seekor sapinya beranak, Bu Mardjoko setia mengirimkan brokohan-sedekah berupa sega berkatan komplit ke tetangga. Mereka punya sebelas ekor sapi, di samping memelihara puluhan ekor unggas.

Suami-isteri itu hanya sempat mengenyam pendidikan sekolah dasar. Sedangkan anak dan menantu, Mas Bibit serta Mbak Tantri mampu mengenyam pendidikan hingga setingkat SMA.

Sejak kanak-kanak hingga menua, Pak Mardjoko dan keluarga  tak pernah beringsut dari desa. Mereka memilih pekerjaan sebagai petani tulen, sehingga Pak Mardjoko memiliki kemampuan niteni pranatamangsa (mencermati perubahan iklim melalui tanda-tanda alam), dan berprinsip nut kahanan, mengikuti kehendak alam semesta. 

Jika garengpung (tonggeret/tangir) berbunyi nyaring, ia percaya pada pertanda bahwa musim kemarau segera tiba. Lelaki perokok itu  kemudian mengganti ternak produktif berupa unggas   bebek dengan memperbanyak memelihara ayam kampung dengan menjual semua bebek miliknya. 

Angon bebek dan mepe pari/Foto: Hermard

Hal ini dilakukan karena bebek tidak mungkin dipelihara dengan baik (mendatangkan keuntungan) saat musim kemarau.  Sebab angon bebek  di area persawahan memerlukan air agar keong- makanan bergizi bebek- dapat hidup dan bebek merasa nyaman bersentuhan dengan air. 

Bebarengan dengan itu, ia  mengganti tanaman padi dengan palawija yang lebih tahan hidup pada musim sulit air. Pekerjaan lainnya adalah keliling desa dengan gerobak sapi miliknya, memborong panenan kacang prol dari petani lain.

Sebagai petani tradisi dengan pendidikan terbatas, Pak Mardjoko mengalami kegagapan dalam mengikuti perkembangan zaman, kemajuan teknologi. Ia tetap memilih menghayati pekerjaannya sebagai petani sekaligus peternak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline