Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Ahmad Tohari, Imajinasi, dan Kisah Cinta

Diperbarui: 1 Juli 2024   11:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngangsu Kawruh bersama Ahmad Tohari/Foto: Dokumentasi pribadi Hermard

Semua karya sastra itu berangkat atau terinspirasi dari kenyataan. Tapi kemudian terbungkus dalam sebuah imajinasi. Seorang pengarang harus mempunyai imajinasi yang sangat tinggi, sehingga mampu menuliskan sesuatu yang sebetulnya tidak ada, tapi seperti ada.

"Pada saat ini, anak-anak muda kita agak lemah imajinasinya. Ini terjadi karena kesalahan para orangtua, guru, masyarakat, yang meninggalkan tradisi dongeng. Padahal mendongeng itu adalah awal pembentukan dunia imajinasi," papar Ahmad Tohari di tengah diskusi bersama rombongan Sastra Bulan Purnama (SBP) di Gubug Carablaka Rumah Budaya Ahmad Tohari, Tinggarjaya Jatilawang, Banyumas.

Sekitar tiga puluh seniman dan praktisi SBP ngangsu kawruh dan disambut hangat oleh penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk didampingi istri tercinta, Siti Syamsiah. 

Tampak hadir antara lain Soeparno S Adhy, Genthong HSA, Eko Winardi, Ons Untoro, Simon HT, Umi Kulsum, Cicit Kaswarni, Yupi, Margaretha Widhy Pratiwi, Vincensius Dwimawan, Ninuk Retno Raras, dan Sutirman Eka Ardhana. Seniman dan praktisi Jawa Tengah ikut pula meramaikan, antara lain Wanto Tirta dan Yonas Suharyono.

Kang Tohari/Foto: Hermard

Dipaparkan lebih lanjut bahwa sekarang guru ngaji tidak lagi mendongeng soal malaikat, surga. Padahal itu penting untuk mengembangkan kekuatan imajinasi pada anak-anak. Bahkan cerita tentang takhayu-takhayul di kuburan ada hantunya, di perempatan ada penunggunya, itu tidak apa-apa. 

Itu penting guna membangkitkan awal mula imajinasi. Bahkan Albert Enstein mengatakan bahwa yang terpenting adalah kekuatan imajinasi, bukan kekuatan nalar. Jadi lebih utama kekuatan imajinasi dari pada kekuatan nalar. Kalau kita sudah tidak diajari berimajinasi, maka nalar pun ikut-ikutan kurang berkembang.

"Dulu ketika saya didongengi Joko Kendil, sudah terbayang ada seseorang yang serba hitam, perut gendut, mukanya jelek. Ketika saya ngaji, mendongeng malaikat penjaga langit, saya membayangkan ada malaikat yang kakinya menjejak di bumi, tangannya diangkat mengarah ke langit. Soal itu cuma imajinasi, ya tidak apa-apa wong memang cuma imajinasi. Hal terpenting bahwa imajinasi itu dipelajari," pinta Ahmad Tohari.

Misalnya saja sebelum tercipta benda seperti handphone, pastinya sudah ada imajinasi di tangan penciptanya, baru kemudian diwujudkan benda konkretnya. 

Orang Jawa sudah memberikan pelajaran imajinasi melalui wayang. Gatotkaca bisa terbang, Ontorejo bisa masuk (ambles) ke bumi, itu sebenarnya pelajaran imajinasi. 

Hanya saja bedanya kalau di Jawa hanya dimitoskan, sedangkan di Barat diwujudkan. Kalau diandaikan manusia bisa terbang, maka di Barat dibuat seperangkat alat supaya manusia bisa terbang beneran. Sedangkan kita dari dulu sampai sekarang hanya berhenti sebatas wayang.

Imajinasi menjadi sangat penting karena mendahului benda-benda yang ada seperti sekarang ini yang dirancang oleh ahli-ahli teknologi.

Dalam bincang-bincang sambil wedangan, Tohari menjelaskan proses kreatif penulisan novel Ronggeng Dukuh Paruk.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline