Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Puisi, Jalan Melingkar Bermula dari Li Po

Diperbarui: 21 Juni 2024   21:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pencarian diri lewat Apokalipsa Kata/Foto: Hermard

kita adalah para kanak yang berlarian mengelilingi tubuh sendiri mencari yang sengaja bersembunyi dan disembunyikan

seperti air mata seorang ibu yang bersembunyi di balik sungging bibir dan anak-anak menemukan ketabahannya semata (penggalan puisi "Petak Umpet"-Dedet Setiadi)

Benar seperti apa yang dikatakan Joko Pinurbo (Jokpin) bahwa puisi-puisi Dedet Setiadi, penyair kelahiran Magelang 12 Juli 1963, mengajak pembacanya berkontemplasi. Semacam bermain petak umpet, simbol bahwa kita sedang bermain dengan diri sendiri.

"Kita mengira akan menemukan diri di luar, padahal kita akan menemukannya di dalam.  Dalam perjalanan melingkar, barangkali kita mengalami kegagalan dan luka jiwa. Namun, semua itu harus diredam. Berdamai dengan diri sendiri," tulis Jokpin dalam pengantar buku kumpulan puisi Apokalipsa Kata yang memenangi penghargaan Prasidatama 2022, Balai Bahasa Jawa Tengah.

Tahun 1987, Dedet diundang dalam temu penyair Indonesia 1987 di TIM Jakarta. Tahun 1990, satu puisinya terpilih sebagai puisi terbaik versi Sanggar Minum Kopi, Bali.

Dedet di Omah Ampiran/Foto: Hermard

Ketika bertandang ke Omah Ampiran (15/6/2024), sambil menikmati nasi rawon hidangan Ibu Negara Omah Ampiran, Dedet menjelaskan bahwa puisi-puisinya merupakan media pelepasan (pengungkapan) momen puitik. 

Puisinya berbeda dengan penyair lainnya karena ia meyakini cerapan seseorang ketika menangkap sebuah peristiwa/momen ditentukan oleh latar budaya, sosial, dan intelektualnya. Artinya, meskipun  menyaksikan peristiwa yang sama, tetapi hasil penciptaan puisi para penyair pasti berbeda-beda.

Saat awal menulis puisi, di bangku SMA, tujuan Dedet hanya ingin pamer, kemaki. Hal itu berkat dorongan Pak Kasno, guru bahasa di SMA Negeri 10 Yogyakarta. Beliau mengajar mengarang sambil membawa koran. 

Suatu hari  berkata bahwa siapa pun yang tulisannya bisa menembus koran  akan diberi nilai bagus. Tak berapa lama kemudian puisi Dedet dimuat Minggu Pagi, dielu-elukan para guru dan siswa lainnya.

Sebenarnya sudah dari bangku sekolah dasar Dedet   menyukai sastra. Hanya saja ia memiliki keterbatasan karena hidup di desa, tepatnya di Pakunden, Ngluwar, Magelang, dan orang tuanya berpendidikan pas-pasan. 

Meskipun begitu, sebagai lurah, ayahnya berlangganan koran Kedaulatan Rakyat  dan Dedet mempunyai kebiasaan membaca. Rubrik "Sungguh-sungguh Terjadi" menjadi santapan utama. Dilanjutkan dengan cerita bersambung "Api di Bukit Menoreh" (SH Mintardja) yang juga digandrungi ayahnya. 

Api di Bukit Menoreh dalam bentuk buku/Foto: dokpri Hermard

"Kegilaan saya terhadap Api di Bukit Menoreh terutama karena latar ceritanya Kali (sungai) Progo, mengingatkan kebiasaan  masang wuwu dan kegiatan lain di sungai. Semua sangat kontekstual dengan apa yang pernah saya alami," papar Dedet.

Pemikiran-pemikiran mistis khas desa, dicekoki oleh Mbok Lamah  (pemomong/pengasuh) Dedet. Contoh, saat gerhana harus bersembunyi, atau ketika terlihat pelangi maka ia percaya ada bidadari turun dari langit. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline