"Kali ini kita harus mencicipi sego megono legendaris di Yogya. Dua minggu lalu kecelik karena tutup. Saya masih merasa berhutang kuliner," ujar Mbak Rindu (18/12/2023) sambil mengarahkan mobil ke Pringgolayan , tepatnya ke Jalan Gedongkuning No.179, Banguntapan, area sisi timur Gembiraloka Zoo.
Dari luar, sekilas tidak ada yang istimewa saat mendekati warung sego megono Bu Ari. Warung itu sama dengan deretan warung makan di pinggir jalan, terlihat sederhana, nuansanya berbeda jauh dibandingkan kafe atau restoran. Tanda yang paling mencolok berupa pagar berwarna hijau dan spanduk nama warung makan "Sego Megono Pekalongan Bu Ari" yang juga berwarna hijau.
Setelah masuk dan duduk menunggu pesanan diantar ke meja, baru saya menyadari bahwa warung itu ternyata tak pernah sepi. Pelanggan datang bergantian, ndlidir, rela antre menunggu dilayani.
Mereka memesan sego megono untuk dibawa pulang. Atau sekadar membeli lauk pauk yang tertata di etalase kaca. Ada ayam goreng, sotong cumi, pepes tahu, mangut ikan asap, koyoran sapi, dan garang asem ayam. Soal harga, dijamin ramah di kantong, semua terjangkau.
Warung buka setiap hari, kecuali Minggu, mulai jam satu siang sampai jam sembilan malam.
Konon kata megono berasal dari kata merga ana (karena ada) dalam konteks asal mula sega megono, maka kata itu dapat dimaknai sebagai (nasi) seadanya. Hal ini berkorelasi dengan keberadaan sego megono yang awalnya hanya terdiri dari nasi putih dan potongan nangka dipadukan parutan kelapa muda.
Selain itu dapat juga dikaitkan dengan sejarah yang menyatakan bahwa sego megono sudah ada pada zaman Mataram Kuno, berkaitan dengan budaya keraton yang kerap mengadakan sesaji untuk berbagai ritual, baik berkenaan dengan Dewi Sri maupun Bekakak- awal kehadiran sego megono memang berbentuk tumpeng, bentuk gunungan yang biasanya dipergunakan untuk sesaji atau uborampe selametan dalam masyarakat Jawa.
Ada juga yang menceritakan jika kehadiran sego megono berkaitan dengan penyerangan prajurit Mataram ke Batavia, melawan VOC (1628).
Menurut syahibul hikayat, saat prajurit Mataram memasuki wilayah Pekalongan untuk beristirahat, penduduk setempat bersimpati dengan mengumpulkan makanan dari penduduk untuk diberikan secara sukarela.
Karena kondisi serba terbatas, penduduk hanya mampu memberi kerak nasi tanpa sayur. Muncul ide menyediakan sayur seadanya. Banyaknya nangka di pekarangan rumah, tak ada pilihan lain kecuali mengolah nangka muda dengan dicacah dan dipotong kecil-kecil, dibumbui kelapa parut-inilah yang kemudian dikenal dengan megono.
Bu Ari (57) dan keluarga mulai merintis berjualan sego megono di Yogyakarta sejak tahun 2012. Tak mengherankan kalau kemudian sego megono Bu Ari digemari para pecinta kuliner karena perempuan asli Pekalongan itu sudah sejak kecil mengakrabi sego megono yang merupakan usaha turun temurun keluarga.
"Keunikannya, megono Bu Ari diberi gereh pethek, ikan asin kecil-kecil, sehingga sensasi rasanya berbeda denga sego megono di tempat lain," jelas Mbak Rindu.
Keunikan lainnya karena Bu Ari selalu menggunakan bunga kecombrang atau honje dipadukan dengan rempah lainnya, seperti bawang merah, bawang putih, kemiri, ketumbar, jahe, daun jeruk purut, daun salam, serai, cabai merah, dan lengkuas; sehingga megono terasa gurih dan mantap.