Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Pengalaman Mistis

Diperbarui: 10 November 2023   15:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keluarga Ganjil-cat minyak Wara Anindyah/Foto: Hermard

Ada satu perkara yang harus kita sepakati bersama bahwa pengalaman mistis seringkali sulit dijelaskan secara rasional dan bisa mencakup perasaan kedekatan dengan alam semesta, momen spiritual mendalam, atau persepsi di luar kenyataan sehari-hari. Pengalaman mistis banyak macamnya dan sangat subjektif, tergantung pada keyakinan dan pandangan masing-masing individu.

Ada juga yang berkeyakinan bahwa pengalaman mistis merupakan pengalaman pribadi, melibatkan perasaan kontak langsung dengan yang ilahi, spiritual, atau transenden. Perlu juga diingat bahwa setiap orang memiliki pengalaman mistis sendiri-sendiri yang mungkin saja hanya disimpan dan tidak pernah diceritakan kepada orang lain.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar di Kuala Tungkal, Jambi, saya sudah akrab dengan dunia di luar nalar. Di tempat saya tinggal, pada tahun 1970-an, ada larangan jika saat masuk waktu magrib, tidak boleh ada yang berkeliaran di luar rumah, kecuali bagi mereka yang hendak ke surau atau masjid. Juga tidak boleh melamun, pikiran kosong, dan tidak merapik -- ngomong yang tidak-tidak. 

Muncul anggapan bahwa waktu sepanjang magrib merupakan saat jin plesit dan makhluk halus bergentayangan.  Maka setiap waktu magrib, jalan menjadi sepi, pintu rumah tertutup rapat. Suatu ketika selepas magrib, pintu depan diketuk dari luar. Ibu segera membuka pintu.

"Maaf Bu, apakah Bapak ada di rumah? Isteri Pak Pabean kemasukan. Tolong Bapak segera ke rumah."

Setelah selesai salat magrib, ayah langsung ke rumah besar di seberang jalan. Saya mengikuti ayah. Dari dalam kamar terdengar seorang perempuan merepet, berteriak tidak jelas. Ayah meminta  Bu Pabean dibawa keluar dan dibaringkan di ruang tamu. Empat orang memegangi erat-erat karena Bu Pabean selalu berontak. Ayah duduk mendekat. Mulutnya komat-kamit. Saya paham, pasti ayah tengah membaca rapal.

"Ayo mau keluar tidak? Jangan datang dan mengganggu lagi!" teriak ayah sambil memandang tajam ke arah Bu Pabean yang terbaring.

Mulut ayah komat-kamit lagi. Mata Bu Pabean mendelik. Tubuhnya berontak. Mulutnya berteriak tak jelas. Sebentar kemudian matanya terpejam dan tubuhnya lemas. Ayah tetap membaca rapal. Di genggaman tangannya, saya sempat melihat ada bawang putih bulat. 

Setelah mata Bu Pabean terbuka, ayah berhenti membaca rapal,  langsung memberikan segelas air putih kepada Bu Pabean. Begitulah, ayah kerap dimintai tolong tetangga yang kemasukan makhluk halus. Setahu saya, ayah bukanlah dukun. Ia hanya selalu membuka-buka buku tulis bersampul kertas kopi. 

Karena penasaran,  suatu kali saya sempat mencuri-curi membuka buku itu. Ada berbagai rapal dengan bacaan campuran Islam kejawen. Juga aturan (nglakoni) saat rapal itu mau digunakan. Karena masih kanak-kanak, saya tidak memahami dengan sungguh-sungguh tulisan yang ada di dalam buku itu.

Di waktu lain, seusai magrib, setelah capek bermain asinan (gobak sodor), kami anak-anak berkumpul bersama teman-teman sebaya memperhatikan langit.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline