Acara unik digelar oleh Komunitas Perempuan Bertutur dan Museum Sandi Yogyakarta dalam memperingati Hari Sumpah Pemuda 2023. Mereka bekerja sama menyelenggarakan kegiatan Pembacaan 200 Fiksi Mini Komunitas Perempuan Bertutur dengan melibatkan lebih dari seratus pembaca yang terdiri dari mahasiswa, siswa SLTA, SLTP, dan SD, di Museum Sandi (28/10).
Pihak Museum Sandi menyambut positif kegiatan ini dan bangga bisa berkolaborasi memasyarakatkan pembacaan karya sastra, khususnya fiksi mini. Di sisi lain Komunitas Perempuan Bertutur akan berupaya melakukan gerakan agar para perempuan terus mengembangkan ide dan membuka diri dalam kegiatan bersastra.
"Pembacaan ini dilandasi pemikiran agar karya sastra yang sudah diterbitkan tetap hidup, tidak hanya terperangkap di lemari buku sebagai hiasan di ruang tamu. Karya sastra harus tetap dinamis, setidaknya dibacakan," jelas Sri Yuliati, ketua Komunitas Perempuan Bertutur.
Konsentrasi komunitas yang beranggotakan para perempuan dari berbagai wilayah ini, utamanya adalah menulis fiksi mini. Menulis perlu dilakukan agar ide terus berkembang, pemikiran yang dituangkan dapat dipahami orang lain. Adapun kegiatan pembacaan dilakukan supaya audience tertarik dan menyadari adanya fiksi mini. Diharapkan dengan demikian mereka juga berkeinginan menulis fiksi mini.
Untuk itulah rangkaian acara ini diawali dengan pembekalan penulisan dan pembacaan fiksi mini (22/10) dengan menghadirkan dua narasumber- Herry Mardianto dan Agus Leyloor Prasetya- yang berpengalaman di bidang penulisan maupun pemanggungan.
Pada acara ini dibacakan 200 fiksi mini karya 40 penulis perempuan yang termuat dalam Morse: Antologi Perempuan Bertutur 3 (2023). Pembacaan terbagi dalam tiga tempat di Museum Sandi dan dilakukan secara bersama-sama. Strategi ini dilakukan guna menyiasati waktu agar selesai sebelum sore hari.
"Kegiatan ini sangat menarik, mampu mengembangkan literasi. Kalau biasanya siswa saya hanya mengenal pembacaan puisi, kali ini mereka mengenal fiksi mini. Ini tantangan bagi anak-anak untuk mampu membaca dengan lebih baik, " komentar Mairina Umaroh, guru SMP Negeri 2, Pleret, yang mengawal sepuluh orang siswanya.
Meskipun rangkaian acara berjalan dengan baik, tentu kedepannya perlu ada perbaikan. Salah satunya bagaimana menyiasati agar siswa SD tidak minder ketika harus membaca bersama-sama dengan siswa SMA, bahkan mahasiswa.
"Tapi tidak apa-apa kok. Saya senang melihat siswa SD juga ikut membaca. Mereka latihan kendel, berani. Siapa tahu salah satu dari mereka nantinya menjadi pembaca sekelas Landung Simatupang," tukas Krishna Mihardja, sastrawan yang turut hadir bersama Ardini Pangastuti, Effy Widjono Putro, Harwi Mardianto, dan Agus Leyloor .
Para pembaca mendapat jatah membaca satu sampai dua fiksi mini. Meskipun terbagi dalam tiga panggung, mereka semua bersemangat tampil di hadapan penonton. Ada yang pembacaannya dengan mempertimbangkan dinamika, tangga dramatik, mempermainkan tempo dan nada pembacaan; tetapi ada pula yang datar-datar saja. Tak apalah, hal terpenting semua pembaca fiksi mini bersemangat mengisi acara Sumpah Pemuda yang dipandegani oleh Komunitas Perempuan Bertutur dan Museum Sandi.