Selain bakpia, gudeg, batik, ada oleh-oleh lain dari Yogyakarta yang layak dibagikan ke kerabat, yaitu kaos oblong. Mengapa kaos oblong? Ya karena kaos oblong Yogya, bukanlah kaos biasa, bukan sesuatu yang mainstrem.
Menurut yang empunya cerita, etimologi oblong terdiri dari dua suku kata, yaitu "O" dan "blong". Huruf "O" berarti bulat, sehingga kepala kita bisa masuk. Kata "blong" mengacu kepada situasi ketika rem kendaraan tidak berfungsi dengan baik, sehingga jalannya melaju tanpa hambatan. Jadi, oblong berarti sesuatu (kaos) yang atasnya bulat, dan ketika benda (kepala) dimasukkan, jalannya lancar, tidak ada yang mampu menghalangi. Bilieve or not!
Meniupkan Roh Yogya
Pada tahun 2002, penulis sempat berbincang dengan Edy Setijono (ketika itu menjabat direktur PT. Aseli Dagadu Djokdja). Ia berpendapat jika oblong atawa t-shirt merupakan busana universal, tidak dibatasi oleh norma-norma lokal, ia bisa diterima di mana saja. Kaos oblong merupakan media implementasi desain.
"Kebetulan Dagadu memposisikan diri sebagai produk cenderamata universal. Ternyata satu yang universal dari cenderamata itu media atau produknya adalah kaos oblong."
Begitulah, Dagadu mulai memproduksi kaos oblong pada tahun 1994 dengan desain kontemporer dan konten berkaitan dengan Yogya, everything about Yogya: artefak, bahasa, kultur kehidupan, maupun peristiwa keseharian. Ini tidak lepas dari konteks posisioning Dagadu yang meyakini bahwa cenderamata berkaitan dengan hal-hal orisinal dari mana cenderamata itu didapat.
Meskipun begitu, bukan berarti desain Dagadu merupakan desain etnis. Justeru desainnya kontemporer karena market-nya merupakan komunitas kontemporer kekinian. Desain-desain Dagadu berkait erat dengan visi menyemarakan kota Yogya sebagai kota wisata dan kota pelajar.
Lebih dari itu, Dagadu ingin membangkitkan roh kepariwisataan melalui nilai-nilai desain yang digunakan. Misalnya, menampilkan desain beberapa prajurit keraton (dalam united colors of keraton), ada nilai tertentu tentang keperajuritan di Yogya.
Usaha lain ditempuh Dagadu dengan pembuatan saint board yang tidak sekadar berisi tulisan nama tempat dan penunjuk arah, tetapi ada story-nya; misalnya saint board Malioboro memiliki cerita mengenai panjang Malioboro, bangunan tua yang ada di seputar Malioboro. Langkah ini merupakan upaya mengedukasi/mengembangkan pengetahuan wisatawan.
Desain Dagadu bertumpu pada fenomena sosial masyarakat pinggiran: bagaimana tukang becak dipepet terus, kita tidak pernah melihat sisi romantisme tukang becak - dia tidur di atas becak, harus mengayuh lebih kuat lagi untuk mendapatkan sesuap nasi. Itu adalah fenomena sosial yang diangkat Dagadu dengan asumsi kemiskinan itu bukan momok, tetapi memang ada.
Terdapat pula desain mengenai Malioboro yang tidak ramah. Malioboro yang berubah menjadi ajang konsumeristik, bertransformasi menjadi desain kaos Malioboros.
Keunggulan desain Dagadu membuat orang ramai-ramai menjiplak, memodifikasi desain untuk meraup keuntungan.
Hebatnya pihak Dagadu tidak mempersoalkan penjiplakan desain. Sesungguhnya Dagadu tidak diam, hanya jalan yang dipilih Dagadu berbeda. Dapat dibayangkan kalau Dagadu menempuh jalur hukum, yang terjadi adalah pengkayaan atas Dagadu sendiri, dan pemberdayaan masyarakat tidak ada. Jadi, Dagadu lebih memilih gerakan moral walaupun selalu ditertawakan orang bisnis karena gerakan moral itu hampir tidak masuk akal, seperti perbuatan menggarami lautan.