Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Mengingat Dagadu Sarapan Jaran (Tahun 2002)

Diperbarui: 3 Oktober 2023   15:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dagadu punya/Foto: dokpri Hermard

Selain bakpia, gudeg, batik, ada oleh-oleh lain dari Yogyakarta yang layak dibagikan ke kerabat, yaitu kaos oblong. Mengapa kaos oblong? Ya karena kaos oblong Yogya, bukanlah kaos biasa, bukan sesuatu yang mainstrem.

Menurut yang empunya cerita, etimologi oblong terdiri dari dua suku kata, yaitu "O" dan "blong". Huruf  "O" berarti bulat, sehingga kepala kita bisa masuk.  Kata "blong" mengacu kepada situasi ketika rem kendaraan tidak berfungsi dengan baik, sehingga jalannya  melaju tanpa hambatan. Jadi, oblong berarti sesuatu (kaos) yang atasnya bulat, dan ketika benda (kepala) dimasukkan, jalannya lancar, tidak ada yang mampu menghalangi. Bilieve or not!

Meniupkan Roh Yogya
Pada tahun 2002, penulis sempat berbincang dengan Edy Setijono (ketika itu menjabat direktur PT. Aseli Dagadu Djokdja). Ia  berpendapat jika oblong atawa t-shirt merupakan busana universal, tidak dibatasi oleh norma-norma lokal, ia bisa diterima di mana saja. Kaos oblong merupakan media implementasi desain. 

"Kebetulan Dagadu memposisikan diri sebagai produk cenderamata universal. Ternyata satu yang universal dari cenderamata itu media atau produknya adalah kaos oblong."

Begitulah, Dagadu mulai memproduksi kaos oblong pada tahun 1994 dengan desain kontemporer dan konten  berkaitan dengan Yogya, everything about Yogya: artefak, bahasa, kultur kehidupan, maupun peristiwa keseharian. Ini tidak lepas dari konteks posisioning Dagadu yang meyakini bahwa  cenderamata berkaitan dengan hal-hal  orisinal dari mana cenderamata itu didapat. 

Meskipun begitu, bukan berarti desain Dagadu merupakan desain etnis.  Justeru desainnya kontemporer karena market-nya merupakan komunitas kontemporer  kekinian. Desain-desain Dagadu berkait erat dengan visi menyemarakan kota Yogya sebagai  kota wisata dan  kota pelajar. 

Lebih dari itu, Dagadu ingin membangkitkan  roh kepariwisataan  melalui nilai-nilai desain yang digunakan. Misalnya, menampilkan desain beberapa prajurit keraton (dalam united colors of keraton), ada nilai tertentu tentang keperajuritan di Yogya.

Usaha lain  ditempuh Dagadu  dengan  pembuatan saint board yang tidak sekadar berisi tulisan nama tempat dan  penunjuk arah, tetapi ada story-nya; misalnya  saint board Malioboro memiliki cerita mengenai panjang Malioboro, bangunan tua yang ada di seputar Malioboro. Langkah ini merupakan upaya mengedukasi/mengembangkan pengetahuan wisatawan.

Wong cilik Dagadu/Foto: dokpri Hermard

Desain Dagadu bertumpu pada fenomena sosial masyarakat pinggiran: bagaimana tukang becak dipepet terus, kita tidak pernah melihat sisi romantisme tukang becak - dia  tidur di atas becak, harus mengayuh lebih kuat lagi untuk mendapatkan sesuap nasi. Itu adalah fenomena sosial yang  diangkat Dagadu  dengan asumsi kemiskinan itu bukan momok, tetapi memang ada. 

Malioboros/Foto: dokpri Hermard

Terdapat pula desain mengenai Malioboro yang tidak ramah. Malioboro yang berubah menjadi ajang konsumeristik, bertransformasi menjadi desain kaos Malioboros.

Keunggulan desain Dagadu membuat orang ramai-ramai menjiplak, memodifikasi desain untuk meraup keuntungan. 

Hebatnya pihak Dagadu tidak mempersoalkan penjiplakan desain. Sesungguhnya Dagadu  tidak diam, hanya jalan yang dipilih Dagadu  berbeda. Dapat dibayangkan kalau Dagadu menempuh jalur hukum, yang terjadi adalah pengkayaan atas Dagadu sendiri, dan pemberdayaan masyarakat tidak ada. Jadi, Dagadu lebih memilih gerakan moral walaupun selalu ditertawakan orang bisnis karena gerakan moral itu hampir tidak masuk akal, seperti perbuatan menggarami lautan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline