Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Joko Pinurbo: Kibaran Celana dan Penghargaan Achmad Bakrie

Diperbarui: 18 September 2023   21:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosok Jokpin/Foto: tangkapan layar ANTV (Hermard)

Doa Orang Sibuk, yang 24 Jam Sehari Berkantor di Ponselnya Tuhan

Ponsel saya rusak dibanting gempa. Nomor kontak saya hilang semua. Satu-satunya yang tersisa ialah nomorMu.

Tuhan berkata, dan itulah satu-satunya nomor yang tak pernah kau sapa

Puisi pendek itu dibacakan Joko Pinurbo (Jokpin) di sela-sela pidatonya saat menerima Penghargaan Achmad Bakrie 2023 (31/8) di Ciputra Artpreneur Theatre kawasan Kuningan, Jakarta. Tentu  pembacaan itu mendapat sambutan hangat dari tamu undangan. 

Terlebih sebelumnya Jokpin sempat sambil tersenyum galau menceritakan bagaimana keluarga merelakan dirinya  menjadi seorang pengrajin sastra.

"Terima kasih untuk keluarga saya yang telah mendukung dan merelakan saya menjadi seorang pengrajin sastra, yang harus banyak bersabar dan tawakal menunggu datangnya hilal," ujarnya disambut tepuk tangan gegap gempita  tamu undangan.

Ketika menerbitkan buku puisi pertama,  Celana   (1999), Jokpin menjelaskan bahwa buku tersebut dapat menggambarkan proses penderitaannya selama bekerja keras dalam menulis puisi.
Tentu saja apa yang diungkapkan Jokpin bukan tanpa alasan karena ia pernah tenggelam lama  di kepenyairan liris. 

Berkat buku puisi Sikat Gigi (Yudistira AN Masardi), Jokpin terinspirasi menulis puisi dengan memanfaatkan bahasa sehari-hari. Dalam sebuah diskusi Jokpin mengaku terus menulis puisi dan mempelajari bahasa sehari-hari secara konsisten dan produktif.

Saat diminta menuliskan proses kreatifnya untuk buku Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku: Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta, Jokpin tanpa segan menceritakan jika namanya sebagai penyair  tidak bisa dilepaskan dari celana. Itu karena ia banyak menulis mengenai celana dalam puisi-puisinya.

"Tentu saja saya tidak hanya menulis tentang celana. Saya banyak menulis mengenai hal-hal lain juga: kamar mandi, toilet, sarung, ranjang, tukang becak, tukang ojek, tukang bakso, tukang cukur, ibu, telepon, jendela, tahilalat, asu, terompet, kalender, batu. kopi, dan sebagainya. Namun apa pun yang saya tulis, tetap saja orang tidak bisa melepaskan bayangan celana dalam sajak-sajak saya," jelas lelaki yang menyelesaikan kuliah di IKIP Sanata Dharma tahun 1987.

Dijelaskan lebih jauh bahwa  celana hanya merupakan bagian dari usahanya sebagai seorang penyair dalam  memperkaya bahasa melalui kesuntukkan menulis puisi. Ia meyakini setiap pengarang dengan caranya masing-masing, memiliki komitmen  memperkaya bahasa. Pemerkayaan  itu  berkitan dengan tema, kosakata, dan gaya pengungkapan.

Dalam usaha  mendapatkan gaya pengucapan puisi, Jokpin banyak menyerap gaya berkomunikasi dan penghayatan hidup orang Yogya (Jawa). 

"Tengoklah, misalnya, antologi puisi para penyair Yogya terbitan tahun 1990-an yang memuat sajak-sajak saya. Dalam proses belajar itu memang saya banyak mencermati karya para pendahulu saya, khususnya para penyair Yogya. Tentu saja di lain pihak saya sadar bahwa saya tidak bisa hanya sekadar menjadi penduduk perpuisian Yogya. Saya harus berjuang untuk menemukan cara berpuisi saya sendiri."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline