Sesungguhnya bukan pertama kali ini saya bersilaturahmi ke kediaman Joni Ariadinata, cerpenis tersohor yang cerpen-cerpennya masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas, bahkan cerpen "Lampor" dinobatkan sebagai cerpen terbaik Kompas.
Sudah dua atau tiga kali saya mendatangi rumah berdinding batu bata tanpa plesteran, tapi itu beberapa tahun silam. Tepatnya saat rumah tersebut masih berdiri tegak sendirian di lemah kiwa -- tanah tempat membuang jin di pinggir kali -- seloroh Mas Joni.
Tidak seperti sekarang, puluhan rumah menyesaki pinggir jalan menuju rumah cerpenis yang ditinggali bersama Indah Laksanawati, istri tercinta, dan dua orang anak mereka. Ingatan kuat saya, rumah itu terletak di ujung jalan, mendekati pinggir kali (sungai) Bedog di wilayah Gamping Kidul, Ambarketawang, Yogyakarta.
Saat saya dan Krishna Mihardja sudah berada di Jalan Kertorejo sambil mengingat-ingat posisi rumah Mas Joni, tiba-tiba panggilan telepon berbunyi.
"Sudah sampai mana, Mas?" terdengar jelas suara Dedet Setiadi, penyair, di seberang telepon.
"Masjid Al Ikhlas, Mas, sudah benar kan?"
"Iya, Mas, lurus saja ke timur."
Ternyata ingatan saya tidak salah. Rumah itu tetap saja seperti terakhir kali saya lihat. Tembok batu batanya tanpa plesteran semen.
Tapi kali ini Mas Dedet tidak mengarahkan masuk ke rumah batu bata (rumah utama). Ia mengajak kami menuju rumah kayu di turunan/perengan, persis di tepian Kali Bedog.
"Mangga, Mas. Wah, sudah lama tidak ketemu," sambut Mas Joni di teras terbuka dengan dua meja dan kursi kayu memanjang.
Rupanya rumah kayu ini dijadikan tempat menerima tamu. Jika semula mantan pekerja serabutan ini hanya memiliki tanah seluas 150 meter persegi yang di atasnya berdiri rumah utama, sekarang sudah menjadi 1000 meter persegi lebih, berkelok mengikuti tepian Kali Bedog. Di sisi barat berdiri rumah kayu dan di bagian lainnya terdapat kolam ikan serta pohon buah-buahan.