Meskipun tinggalan-tinggalan dari masa lalu tidak selalu dapat diidentifikasikan fungsinya sebagai candi, tetapi oleh masyarakat setempat biasanya akan dinamai candi. Padahal bisa saja tinggalan itu merupakan bekas istana, pertapaan, fasilitas pemujaan, bekas permukiman, pemakaman atau yang lain. Agaknya, candi sudah menjadi nama generik yang mewakili semua tinggalan dari masa ketika masyarakat di Jawa hidup dalam tatanan agama Hindu dan Budha (Mahatmanto).
Pada tahun 2012, kami (Noer Indrijatno Eska, Herry Mardianto, Indah AN, dan Mahatmanto) diminta oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (kini Dinas Pariwisata) Kabupaten Sleman menulis mengenai candi-candi di Sleman. Tulisan tersebut kemudian terbit dalam bentuk buku dengan judul Sleman: Wisata Seribu Candi (The Land of Thousand Temples Sleman) yang edisi bahasa Inggrisnya mengalami cetak ulang pada tahun 2017.
Dalam menulis buku tersebut, kami menemukan fakta-fakta menarik yang mungkin jarang diketahui masyarakat luas. Semisal, mengapa ada candi (di dusun Candisari, Bokoharjo, Prambanan, Sleman, Yogyakarta) bernama Barong?
Bukankah barong lebih identik dengan masyarakat dan budaya Bali? Ternyata nama Barong diberikan oleh penduduk setempat karena pada relung tubuh candi terdapat hiasan kala lengkap dengan rahang bawah yang tampak seperti Barong.
Candi Ijo, terletak di area perbukitan di sekitar kompleks Ratu Boko, tepatnya di dukuh Groyokan, Sambirejo, Prambanan, Sleman, dibangun sebagai tempat pemujaan dari masa klasik (pengaruh Hindu-Budha) Jawa Tengah, berdasarkan data epigrafi diperkirakan antara tahun 850-900 M, saat pemerintahan raja Rakai Pikatan dan Rakai Kayuwangi (prasasti dari Raja Balitung).
Candi ini memiliki fakta yang cukup menarik. Candi ini pertama kali ditemukan oleh H.E. Dorrepaal pada tahun 1886 dengan temuan berupa lingga- yoni di bilik candi induk dan tiga buah arca batu, yaitu Ganesha, Syiwa, dan sebuah arca tanpa kepala bertangan empat, salah satu dari empat tangan tersebut membawa cakra.
Sebuah prasasti yang ditemukan di atas dinding pintu masuk candi bertuliskan Guywan atau Bluyutan yang berarti 'pertapaan'. Sementara sebuah prasasti dengan ketinggian 15 centimeter memuat kalimat mantra kutukan yang diulang-ulang sebanyak 16 kali, berbunyi Om sarwwawinasa, sarwaawinasa... (hancur semua, binasa semua...).
Prasasti-prasasti yang tidak berangka tahun tetapi dari sudut paleografis diperkirakan dari abad 8-10 M tersebut hingga kini masih menyimpan misteri, apakah gerangan yang terjadi pada masa itu sehingga disebutkan semuanya hancur binasa....
Fakta penghancuran (penimbunan) candi terjadi pada candi Abang di Jogotirto, Berbah, Sleman. Candi yang terbuat dari bata merah (abang) berbentuk segi empat dengan ukuran 36 x 34 meter.
Sayangnya (seperti pernah saya ceritakan di tulisan lain) bentuk candi yang sesungguhnya tidak dapat disaksikan lagi karena candi Abang sengaja ditimbun tanah agar bangunan candi yang tersusun dari batu bata merah tidak longsor.
Di samping itu untuk menjaga candi agar tidak dirusak/digali orang-orang pencari barang berharga peninggalan sejarah. Konon, penduduk sekitar menganggap bahwa candi Abang merupakan tempat penyimpanan harta karun.