Ketika saya mencoba membolak-balik antologi puisi Trilogi Teka-teki Titik Nol (Marjuddin Suaeb) dan antologi soneta Tunjung Hati (Yuliani Kumudaswari), keduanya diterbitkan Tonggak Pustaka (2023), maka terbentang dua jagad yang berbeda, bahkan bisa jadi bertolak belakang.
Marjuddin menghadirkan dunia yang bebas, sesuka hati, tak beraturan, liar, cair, nut ing karep. Tentu Marjuddin, tidak seperti Iman Budhi Santosa, Sapardi Djoko Damono, maupun Herlinatiens yang selalu menginventarisasi dan menyeleksi kata dengan khusyuk untuk setiap puisi mereka; ia dengan sesuka hati memilih kata yang dirasa mewakili apa yang dipikirkan dan hendak diungkapkan.
Tak salah jika kemudian Fauzi Absal (penyair), menilai puisi-puisi Marjuddin mempunyai pola ucap liar dan lugas. Sedangkan Genthong Hariono (praktisi teater) mengatakan bahwa membaca antologi puisi Trilogi Teka Teki-Titik Nol, pembaca akan dikejutkan dengan pemakaian kata dan gramatika yang kurang lazim.
Indro Suprobo menyatakan, karena gaya dan karakter puisi-puisi Marjuddin yang cenderung menggunakan diksi pendek, ringkas, penuh teka-teki, dan sangat subjektif, ia cenderung menyebut Marjuddin sebagai penyair sesesionis, sehingga puisi-puisinya juga cenderung bersifat sesesionis.
Dalam wacana sastra, penyair atau sastra sesesionis adalah penyair atau sastra yang memiliki kecenderungan memisahkan diri dari kelaziman struktur bahasa dan makna yang telah berdaulat, lalu membangun kedaulatan struktur dan makna sendiri.
Ini mengakibatkan, para pembaca awal, editor, atau penikmat sastra tidak dapat dengan mudah segera menemukan arti atau makna dari struktur bahasa yang digunakan penyair. Dibutuhkan pengambilan jarak yang lumayan serius dan pelibatan imajinasi yang sungguh-sungguh membutuhkan perjuangan, agar dapat "kurang lebih terlibat dalam proses konstruksi makna dari struktur puisi yang digunakannya".
Ada kalanya pembaca berhasil memasuki konstruksi makna itu, dan memahaminya, meskipun barangkali tidak sempurna dan tidak sepenuhnya, namun paling tidak ada jejak-jejak yang dapat ditapaki. Namun, ada kalanya pembaca benar-benar kesulitan dan tak berhasil melibatkan diri dalam konstruksi makna yang tersembunyi di dalamnya.
Meskipun begitu, ujar Dhanu Priyo Prabowo (pengamat sastra), puisi-puisi Marjuddin menjadi menarik, kata dirangkai dengan gaya yang mengalir tanpa dibebani penafsiran yang berlebihan, sehingga akhir dari pemaknaannya terhadap peristiwa-peristiwa yang disampaikan menjadi enak dinikmati.
Sebaliknya, Yuliani tampil dengan dunia yang serba tertata rapi, tertib, penuh kehati-hatian, dan personal. Tentu saja pilihan pada "kebebasan" dan "ketertiban" itu sah-sah saja adanya.
Bukankah kebebasan seorang penyair dalam menulis puisi merupakan aspek penting yang memungkinkan mereka mengekspresikan pikiran, emosi, dan pengalaman secara kreatif, mencerminkan perspektif masing-masing dalam berkontribusi memperluas pengetahuan dan imajinasi pembaca (audience)?
Dalam "mengeja" antologi puisi Trilogi Teka-teki Titik Nol, ada baiknya kita berangkat dari semacam "pitutur" yang diyakini Marjuddin bahwa puisi (ku) bukan (sekadar) arti tapi nikmati. Atau memahami refleksi Marjuddin terhadap puisi: bahwa menjadi seorang penyair bukanlah merupakan hal mudah, membutuhkan ketekunan dan ketahanan.
Kehebatan penyair dalam menulis puisi akan terasa jika lirikannya setajam rajawali dan sindirannya memanah langsung ke sanubari pembaca. Puisi dapat menjadi nyanyian tanpa irama, memiliki kebebasan ekspresi dan dapat menyentuh semua aspek kehidupan manusia.
Sejatinya, puisi menyediakan ruang bagi penyair untuk mengkomunikasikan pikiran dan perasaan terdalam, berfungsi sebagai saluran katarsis (kelegaan emosional) untuk pengalaman pribadi.