Saat salah seorang keluarga tercinta meninggal dunia, maka pertanyaan dari keluarga, juga Pak RT atau tetua kampung, pasti mengenai tempat pemakaman, terlebih kalau kita tidak memiliki makam keluarga. Seketika kita akan bingung dan meminta saran Pak RT dan tetangga sekitar bagaimana baiknya.
Ini juga kami alami ketika ibunda tercinta menghadap Sang Khalik. Karena bermukim di tengah kota Yogyakarta dan baru pertama kali berurusan dengan pemakaman, maka kami mengikuti saran tetangga untuk pemakaman di makam umum yang biasa digunakan mengebumikan orang-orang dari kampung kami.
Jaraknya sekitar tiga kilometer dari rumah. Semua saya serahkan kepada Pak RT sambil memenuhi biaya pemakaman sebesar dua juta rupiah.
Seusai pemakaman kami baru menyadari ternyata lahan pemakaman itu sudah penuh sesak. Bedah bumi (penggalian lubang makam) dilakukan dengan menyingkirkan terlebih dahulu batu nisan yang ada di sekitar. Setelah pemakaman usai, batu nisan dikembalikan seperti semula.
Keesokan harinya saat mengantarkan pihak keluarga nyekar, ternyata untuk mencapai makam ibunda, kami harus pandai-pandai "mencari celah" agar kaki tidak tersandung batu nisan. Ya, jarak antara batu nisan begitu rapat.
Kasus lain saya alami saat ibu mertua meninggal dunia. Beliau tinggal di sebuah perumahan di Sleman. Tak jauh di belakang perumahan terdapat makam desa. Malangnya, tidak semua warga perumahan boleh dimakamkan di sana dan saya memahami persoalan itu.
Pertama karena warga perumahan jumlahnya ratusan dan luasan lahan makam terbatas. Kedua, warga perumahan adalah pendatang dan sejak semula tidak ikut andil dalam penyediaan fasilitas umum (termasuk tanah makam) pedesaan.
Untungnya saat itu Pak RT bernegosiasi dengan pihak desa dan ibu mertua diizinkan dimakamkan di pemakaman desa dengan uang bedah bumi satu setengah juta rupiah.
Solusi Pengadaan Lahan Makam