Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Proses Kreatif, Fiksi, dan Kenyataan

Diperbarui: 23 Mei 2023   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memperbincangkan proses kreatif penulisan fiksi/Foto: dokpri Hermard

Benar jika dikatakan bahwa karya sastra tidak berangkat dari kekosongan. Setidaknya ini dibuktikan  Herlinatiens, cerpenis dan novelis Yogyakarta, yang selalu melakukan penjelajahan data atau survei sebelum menulis  cerita pendek (cerpen) dan novel. 

Dalam buku proses kreatif cerpenis Yogyakarta, ia mengaku sebagai seorang pelamun yang parah, bahkan begitu piawai dalam melamun.

"Saya betah duduk dari pagi sampai tengah malam di sebuah warung kopi. Memerhatikan lalu lalang manusia dengan pikiran yang entah berlarian kemana," jelas perempuan penyuka kopi pahit ini.

Di samping sebagai pelamun, ia pun sejak kanak-kanak sudah belajar sebagai pencatat dari peristiwa dan dongengan/cerita yang disampaikan ayahnya -- seorang pemeriksa rel kereta api di wilayah Ngawi- Walikukun, Jawa Timur.

Dalam workshop penulisan kreatif penulisan fiksi, menghadirkan Herlinatiens (penulis) dan Ahmad Zamzuri (peneliti BRIN) yang diadakan Dinas Perpustakaan dan Arsip Daerah DIY bekerjasama dengan Komunitas Semak Kata (Sekat), Selasa (23/5/2023) di Jogja Liberary Center Malioboro, Herlinatiens menekankan pentingnya proses kreatif dalam penulisan. 

Gaya Herlinatiens/Foto: Hermard

Hanya saja perlu diingat bahwa dalam menjalani proses kreatif, tidak ada salah dan benar karena masing-masing orang mempunyai cara  sendiri-sendiri untuk berproses. Menulis merupakan proses dialog dengan diri sendiri untuk dibagikan kepada pembaca. 

Penulis penyuka komik ini juga memaparkan bahwa setelah melakukan riset, ia lalu menenangkan diri untuk memilah apa yang harus dituliskan dan disimpan. Soal taste penulis itu bergantung pada gaya tutur penulis.

"Bagi saya, sastra atau kesastrawanan itu bukan profesi, tetapi merupakan cara saya berdialog," papar penulis novel Garis Tepi Seorang Lesbian (Galangpress, 2003) dan Koella (Bersamamu dan Terluka).

Bukan sekadar fiksi/Foto: Hermard

Novel Koella, dimulai dengan semacam riset kecil-kecilan dengan bincang-bincang bersama para taruna Akpol, AAU, Akmil, dan AAL. Mencari tahu apa saja yang tertulis di buku kecil mereka. Apa-apa yang diharamkan  selama pendidikan. Semua dikumpulkan dan menjadi pijakan untuk penulisan Koella.

Para pemantik/Foto: Hermard

Soal data dalam karya sastra, Ahmad Zamzuri (Azam) menandaskan bahwa fiksi itu bukan (sekadar) fiksi karena ada kenyataan yang diramu jadi fiksi. Koella mungkin bukan sekadar fiksi karena ia berangkat dari cerita masa lalu seseorang secara nyata. Di sini strategi naratif atau bercerita menjadi penting, termasuk dalam menentukan sudut pandang.

"Novel Herlinatiens memiliki kekuatan metaforis. Kata, frase, dan kalimat dipilih dengan pemikiran yang kuat, bukan sekadar dituliskan. Kekuatan kata dan kalimat itulah yang mengkonstruksi pemikiran pembaca," ulas Azam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline