Dilarang Mencintai Bunga-bunga
Saat ingin menuliskan tema "mengabadikan bunga-bunga", saya sontak teringat cerita pendek Kuntowijoyo "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" yang ditulis pada tahun 1968, kemudian diterbitkan dalam majalah Sastra edisi Maret 1969. Pada akhir tahun 1969, cerpen ini dinobatkan sebagai cerpen terbaik majalah Sastra.
Tahun 1995 sampai 1997, cerpen-cerpen Kuntowijoyo masuk dalam kumpulan cerpen terbaik Kompas: "Lelaki yang Kawin dengan Peri", "Pistol Perdamaian", dan "Anjing-anjing Menyerbu Kuburan".
Cerpen "Dilarang Mencintai Bunga-bunga" bercerita mengenai seorang ayah yang menginginkan anaknya (Buyung) bekerja dan berperilaku sebagai laki-laki, bukan mencintai bunga-bunga.
Cerpen ini dinilai sebagai kritik atas peran gender. Bagaimana buyung dipaksa ayahnya untuk berperilaku sebagaimana persepsi orang tentang laki-laki. "Laki-laki tidak perlu bunga, buyung. Kalau kau perempuan, bolehlah. Tetapi engkau laki-laki!"
Mengabadikan Bunga-bunga
Jadi, tidak bolehkah sebagai lelaki, saya mengabadikan bunga-bunga? Bukankah mengabadikan bunga-bunga juga salah satu cara menanti berbuka puasa, menunggu kemenangan menjalankan ibadah puasa?
Begitulah, banyak cara yang dilakukan orang menunggu saat berbuka puasa. Ada yang ngabuburit dengan berburu takjil di pasar/ kampung ramadan, jalan-jalan ke Mal, menulis, main game, dan kegiatan lainnya.
Saya sendiri memilih memotret. Memotret menggunakan kamera yang ada di gawai (handphone) dengan objek bunga-bunga yang ada di halaman rumah.
Memotret benda tidak bergerak, tentu lebih mudah dibandingkan dengan memotret benda bergerak, seperti objek human interest, on stage, street photo, atau memotret model.
Dalam kasus memotret bunga, kita tidak perlu mengarahkan, mengadakan komunikasi dengan intens, kita bebas menentukan angle (sudut pengambilan).
Saya hanya suka memotret, bukan fotografer profesional. Dengan begitu, memotret objek tidak bisa sekali jadi. Bahkan memberi efek background menjadi blur pun harus dilakukan berulang kali.