Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Mengenang Sapardi Djoko Damono

Diperbarui: 20 Maret 2023   10:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa karya Sapardi/Foto: Hermard


Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Masih terpatri dalam ingatan bagaimana penggalan puisi "Pada Suatu Hari Nanti" karya Sapardi Djoko Damono (SDD) tiba-iba betebaran di media sosial, saat berita duka kepulangannya ke rumah Ilahi tersiar pada 19 Juli 2020.  Tidak ada satu pun masyarakat sastra yang tidak merasa kehilangan.  

Meskipun sudah meninggalkan kita, sosok SDD tidak akan pernah hilang dari ingatan, terlebih ia berjanji lewat puisi tidak akan merelakan kita sendiri.

Begitulah, Google pun tak ketinggalan memperingati kelahiran SDD yang jatuh pada hari ini, 30 Maret, dengan menampilkan ikon sosok menyerupai SDD yang berteduh di bawah payung, mengingatkan puisi "Hujan di Bulan Juni" yang kemudian dijadikan judul novel oleh SDD.

Ulang tahun ke-83 SDD/Foto: dokpri tangkapan layar google

Kali ini saya ingin mengenang beliau dengan menampilkan penggalan tulisan "Terjemahan ke dan dari Bahasa Jawa ke Bahasa Lain" yang kami tulis bersama dalam proyek penyusunan buku Hanbook of Javanese Literature.

Menulis bersama SDD/Foto: Hermard

Dalam perkembangan sastra Jawa Modern sebelum perang, salah satu kasus yang menonjol adalah sebuah cerita rekaan untuk anak-anak karangan seorang penulis Prancis Hector Mallot, Sans Famille, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa dengan judul Badan Sepata yang terbit tahun 1932. Cerita itu juga diterjemahkan ke dalam bahasa Sunda dan Melayu, dan kemudian menjadi sangat populer tidak hanya di kalangan anak-anak tetapi juga remaja dan dewasa. 

Badan Spata bukan terjemahan langsung dari bahasa Prancis, tetapi dari versi bahasa Belanda yang berjudul Alleen op de Wereld, yang mengingatkan kita pada judul bahasa Melayunya, Sendiri di Dunia

Saduran semacam itu setidaknya menyangkut beberapa hal. Pertama, Badan Sepata merupakan saduran yang berhasil hidup di dalam lingkungan budayanya yang baru, bahkan konon gayanya yang sentimental banyak mempengaruhi penulisan fiksi sebelum perang, setidaknya di kalangan Balai Pustaka. 

Kedua, "nasib" sebuah karya sastra di lingkungan kebudayaan lain bisa saja berbeda dengan di negeri asalnya. Dalam hal ini, Sans Famille adalah sebuah cerita anak-anak, sementara Badan Sepata dan Sendiri di Dunia juga menjadi populer di kalangan remaja dan orang dewasa. 

Ketiga, karena pada waktu itu yang berkuasa adalah Belanda, maka bahasa dan kebudayaan Belanda  menjadi semacam filter dalam proses pengkhianatan kreatif bangsa kita. Hasil kebudayaan asing yang akan diperkenalkan kepada kita masuk melalui bahasa Belanda; dengan kata lain, selera Belanda sedikit banyak menentukan selera kita.

Sebelum perang, Balai pustaka juga memperkenalkan berbagai cerita dari Cina kepada pembaca Jawa, salah satu yang perlu disebut adalah Setya Raja: Roman Tionghoa, terbit tahun 1931, saduran dari cerita Sie Jin Kui. 

Buku yang diterbitkan berjilid-jilid ini merupakan puisi naratif yang panjang--sekitar 600 halaman--berbentuk tembang dengan penjelasan babon saking kitha Leiden 'sumber dari kota Leiden'. Karena bisa dibayangkan bahwa pada masa itu sastrawan Jawa tidak ada yang mampu membaca bahasa Cina, tentunya sumber itu berbahasa Belanda, sama halnya dengan Badan Sepata

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline