Dalam buku Omah: Membaca Makna Rumah Jawa, Norberg Schulz, arsitek kawakan, menyatakan bahwa rumah berperan dalam mewujudkan posisi di dunia ini. Pendapat ini berkolerasi dengan makna rumah dalam budaya Jawa sebagai tempat metu, manten, dan mati (keluar, menikah, dan meninggal).
Saat harus meninggalkan rumah lama dua tahun lalu, di usia yang menua, saya dan keluarga memutuskan membeli tanah kapling. Alasannya tentu saja agar pengurusan surat-surat legalitasnya lebih mudah.
Kami memilih lokasi yang memiliki kemudahan akses ke fasilitas umum: super market, rumah sakit, SPBU, bank, sekolah, ATM, dan kantor pemerintahan.
Sebagai orang Jawa, saya bersama ibu negara Omah Ampiran mengawali tradisi membangun rumah dengan upacara slametan, makan bersama saat peletakan batu pertama. Kami menikmati hidangan nasi tumpeng, ingkung, gudangan, jajan pasar, berharap agar pembangunan rumah berjalan lancar tanpa halangan.
Beberapa relasi, saudara, tukang, dan pemimpin doa, semua kebagian nasi tumpeng. Sisanya, dilengkapi beberapa potong ayam, gudangan, dan jajan pasar, dibawa pulang para tukang untuk dinikmati bersama keluarga di rumah.
Harapan lain dari upacara itu agar nantinya rumah mendatangkan kebahagiaan, kesejahteraan, kenyamanan, dan barokah.
Pembangunan diawali dengan pembuatan fondasi yang kokoh sebagai alas. Bukankah kebaikan cinta dan rumah sama-sama harus dibangun dengan fondasi yang kuat? Meskipun pada akhirnya fondasi dipendam, tak tampak mata, tetapi ia adalah penyangga kokoh kebahagiaan sejati.
Pengukuran secara nyelimet dilakukan dengan berpedoman pada gambar mengenai tata letak ruangan, rencana pengatapan, pembuangan air, dan lain-lain. Saluran air, baik air hujan, kamar mandi, dapur, juga dipertimbangkan dengan sungguh-sungguh agar di kemudian hari tidak menimbulkan masalah.
Dipertimbangkan pula pemisahan saluran dan sumur pembuangan antara air hujan, air sabun, air kamar mandi, air cucian dapur, dan lemak agar saluran tidak mudah mampat.
Agar ukuran setiap jengkal ruang sama persis dengan gambar rencana pembangunan, maka saya bersinergi dengan Mbah Hadi. Usia tidak menjadi penghalang bagi Mbah Hadi dalam menghayati pekerjaan.
Mbah Hadi saya temui ketika tengah memberi tanda batas dengan paku berukuran berbeda di rentangan kayu memanjang- mengelilingi calon bangunan - sebagai penanda batas ukuran masing-masing ruangan.