Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Buku Mengenai Jejak Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta

Diperbarui: 6 Maret 2023   18:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Silaturahmi sastrawan Yogyakarta/Foto: dokpri Hermard

Ilmu itu/dijalankan dengan perbuatan/dimulai dengan kemauan/kemauan adalah penguat/budi setia penghancur kemurkaan -- Ngelmu iku/kelakone kanthi laku/lekase lawan kas/tegese kas nyantosani/setya budya pangekese dur angkara (Serat Wedhatama-KGPAA Mangkunegara IV)

Tidak dapat dipungkiri kenyataan bahwa sastrawan dan seniman Yogyakarta turut berpartisipasi dalam pengembangan sastra/budaya di Indonesia. Setidaknya hal ini dapat dicermati dari dua hal penting. 

Pertama, banyak sastrawan yang berproses kreatif di Yogyakarta kemudian tumbuh dan berkembang menjadi tokoh sastra di kancah nasional. Sebut saja beberapa nama sebagai contoh: WS Rendra, Sapardi Djoko Damono, Romo Mangunwijaya, Umar Kayam, dan Butet Kertaredjasa. 

Kedua, kelompok teater/kesenian Yogyakarta sering dijadikan "kiblat" bagi daerah-daerah/seniman lain dalam menampilkan konsep estetika pertunjukkan/berkesenian. Misalnya saja kelompok teater di tanah air ramai-ramai menampilkan pertunjukkan dengan konsep sampakan dan plesetan yang diperkenalkan oleh Teater Gandrik dari Yogyakarta.

Dinamika pertumbuhan sastra Yogyakarta yang begitu riuh pada tahun 1980-an sampai tahun 2000-an didukung oleh para pengayom, berbagai komunitas sastra, media ekspresi cetak/terbitan, dan tersedianya berbagai tempat pertunjukkan dan diskusi sastra.

Sayangnya, berbagai kegiatan sastra di Yogyakarta tidak terdokumentasikan dengan baik, meskipun kota budaya ini memiliki institusi Taman Budaya Yogyakarta, Dinas Kebudayaan, Balai Bahasa, tetapi dokumentasi mengenai sastrawan, kegiatan kesastraan, tak mudah didapatkan. 

Hal ini terjadi karena Yogyakarta sebagai kota budaya tidak memiliki pusat dokumentasi sastra. Berbeda dengan Jakarta, meskipun bukan sebagai kota budaya, mempunyai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin.

Buku Proses Kreatif
Menyadari berbagai fenomena kesastraan yang berpengaruh signifikan dalam menunjang proses bersastra secara sosial dan individual (berkaitan dengan proses kreatif) dibutuhkan masyarakat luas, maka atas ide kreatif Iman Budhi Santosa (IBS -- penyair dan begawan sastra Yogyakarta) diterbitkanlah tiga buku (trilogi) berkaitan dengan proses kreatif sastrawan Yogyakarta. 

Trilogi Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku/Foto: Hermard

Buku-buku tersebut adalah Ngelmu iku Kelakone Kanthi Laku: Proses Kreatif Sastrawan Yogyakarta (2016), Njajah Desa Milang Kori: Proses Kreatif Novelis Yogyakarta (2017), dan Mider ing Rat: Proses Kreatif Cerpenis Yogyakarta (2018). 

Judul-judul buku sengaja ditetapkan menggunakan bahasa Jawa agar terkesan nyeleneh sekaligus istimewa.

Buku Ngelmu iki Kelakone Kanthi Laku, berisi paparan proses kreatif berbagai pelaku seni di Yogyakarta dalam beragam subtema.  Berbagai tulisan layak dibaca dalam buku ini, antara lain: "Yogya sebuah Persentuhan dan Penemuan Puitik" (Mutia Sukma), "PerubahanSosial: Yogya yang Makin Prosais" (Agus Noor), "Di Balik Petualangan Cerpen dan Esai" (Indra Tranggono), "Belajar Menulis Bersama Teater Garasi" (Gunawan Maryanto), dan "Berkelit dari Jebakan Banjir Fakta" (Ahmadun Yosi Herfanda).

Lewat tulisan "Siapa pun Bisa Menjadi Guru, Siapa pun Boleh Menjadi Murid," Hasta Indrayana menegaskan bahwa puisi itu musikal karena ada "nada-nada" yang ditata sehingga membentuk harmoni. Puisi merupakan bunyi bahasa dan bunyi merupakan aspek penting dalam puisi.  

Memahami proses kreatif/Foto: Hermard

"Saya memperdalam tata bunyi puisi dengan memaksimalkan asonansi, aliterasi, repitisi, sigmatisme, pararima, ritme, dan penekanan," tulis Hasta.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline