Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Pedhut ing Lereng Sumbing: Menghayati Dunia Kethoprak

Diperbarui: 26 Februari 2023   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Limasan Somaatmajan/Foto: Hermard

Keberhasilan pementasan lakon Pedhut ing Pereng Sumbing karya Bey Saptomo (24/2/2023), di Limasan Somaatmajan, Seyegan, tidak perlu disangsikan lagi karena pada tahun-tahun sebelumnya kelompok kethoprak Mataram Dwi Mudo Budoyo (MDMB) sukses mementaskan lakon Sritanjung Sidapeksa (Mujidal), Penangsang Gugur (Mujidal, 1990), Maling Langkir Maling Aguna (Suharto, 1997), Geger Bengawan Sore (Bondan Nusantara, 2000), Kamandaka (Djarwa, SP, 2000), Kembang Pudhak Kencana (Djarwa SP, 2009), Pedhut Sukowati (Nur Handaya, 2017) Sepasang Senapati (Eko Purwanto, 2018), dan naskah lainnya.

Anggota Ketoprak Mataram Dwi Mudo Budoyo/Foto: Agus S

"Semua itu tidak dapat dilepaskan dari kerja keras para pemain, penulis naskah, dan dukungan dana dari Dinas Kebudayaan Sleman," terang Agus Suprihono, sutradara pertunjukkan.

Merias diri/Foto: Agus S

Kelompok kethoprak MDMB telah lama malang melintang merawat dan menjadi benteng pertahanan kesenian tradisional di Yogyakarta, khususnya di wilayah Margokaton, Seyegan, Sleman.

Adegan Pedhut ing Pereng Sumbing/Foto: Agus S

Empat puluh tahun lebih (berdiri tanggal 17 Mei 1990) MDMB terus setia pada kethoprak. Kelompok ini merupakan generasi ketiga dari paguyuban yang ada di padukuhan Seyegan.

Karawitan Arumsari mengiringi pementasan Pedhut ing Pereng Sumbing/Foto: Hermard

Pada tahun 1990, Agus Suprihono, ketua MDMB, bersama anggota kerap mengadakan latihan untuk pentas dalam acara tujuh belasan di panggung desa dengan dana patungan dari anggota. Beberapa kali hal itu dilakukan. 

Kemudian, berkat ketekunan dan kerja keras, MDMB mendapat bantuan anggaran dari Dinas Kebudayaan yang diambilkan dari dana keistimewaan. Terlebih setelah MDMB mendapatkan nomor induk kebudayaan pada tahun 2020.

Penonton/Foto: Hermard-Agus S

Naskah Pedhut ing Pereng Sumbing dibuka dengan adegan percintaan antara Pranoto dan Dewi Manggaranti. Cerita mulai bergerak naik saat Adipati Natapraja, ayah Dewi Manggaranti, mengetahui dan tidak menyetujui hubungan antara paman dan keponakan itu. 

Konflik semakin menarik ketika Adipati Natapraja mencopot jabatan Pranoto dan mengusirnya dari Kadipaten Jatinegoro. Pranoto bergabung dan menjadi ketua begal Alas Baratmadya yang kemudian meneror ketentraman Kadipaten Jatinegoro.

Afifah, Putri, Yatmi, Narni/Foto: Agus S

"Saya senang mendapat kesempatan ikut dalam pementasan ini. Sudah lama saya ingin belajar seni peran dalam dunia kethoprak," ujar Fransiska Romana Sunarni (Narni) yang memerankan Dewi Manggaranti.

Penampilannya mencuri perhatian penonton dan menjadi primadona karena kesungguhannya dalam menghayati peran yang dipercayakan kepadanya.

Pentas kali ini terasa unik karena para pemain muda didominasi oleh perempuan. Perhatikan saja keterlibatan Narni, Afifah, Putri, ketiganya sudah malang melintang di dunia kethoprak (di tingkat kapanewon)---meskipun mereka tidak mengenal tokoh kethoprak seperti Widayat dan Bondan Nusantara. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline