Bangun tidur selepas subuh, saya langsung membaca notification topik pilihan dari admin Kompasiana, "Aku Ingin Menggombalimu dengan Sederhana". Serta merta timbul kecurigaan (tanpa alasan) adayanya upaya mengkultuskan Sapardi Djoko Damono (SDD) atau justru keinginan "meremehkan" puisi-puisi kompasianer yang diksinya tidak sekuat SDD:
aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api
yang menjadikannya abu
aku ingin mencintaimu dengan sederhana,
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan
yang menjadikannya tiada
Satu hal yang pasti, topik itu tidak dimaksudkan dalam rangka mengenang SDD karena tidak berkaitan dengan tanggal dan bulan kelahiran maupun kepulangan sastrawan sekaligus guru besar ini ke rumah ilahi. Seiingat saya (mohon maaf kalau ingatan saya ngawur dan nganuw), ia lahir pada tanggal 20 Maret 1940 dan meninggal dunia 19 Juli 2020. Sekarang masih bulan Februari, jauh dari Maret, terlebih Juli.
Kenangan saya terhadap SDD tidak lepas dari buku kiriman beliau: Tirai Demokrasi: Sebuah Selebaran, antologi puisi Arloji, buku puisi panjang Namaku Sita, Slamet Rahardjo: Sebuah Esai, dan Alih Wahana.
Kajian Alih Wahana/Foto: Hermard
Tulisan tangan Sapardi/Foto: Hermard
Hal yang juga tak dapat dilupakan saat sastrawan yang pernah memperdalam pengetahuan di Universitas Hawaii Honolulu, Amerika (1970-1971) mengajak menulis bersama artikel untuk penyusunan buku Sastra Jawa Suatu Tinjauan Umum (Balai Pustaka, 2001).
Buku berharga bagi sastra Jawa/Foto: Hermard
Menulis bersama/Foto: Hermard
Tahun 1999 dan 2014 kami bertemu saat beliau menjadi salah satu mentor dalam Program Penulisan Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera). Sebagai peserta, kami diminta menulis esai mengenai sastra perbandingan terhadap karya-karya sastra Asia Tenggara.
Keramahan, penguasaan materi, dan penyampaian yang gamblang dari SDD terhadap cara kerja sastra bandingan, menyebabkan dua puluh tiga peserta berasal dari Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Brunei Darussalam dapat menyelesaikan esai dengan baik.
Dalam sesi diskusi ia menjelaskan dengan lugas kajian sastra bandingan akan berkembang dinamis sesuai zaman, tidak selalu berpijak pada nilai estetika karya besar. Lebih dari itu, mungkin saja berangkat dari sejauh mana karya sastra mencerminkan kebudayaan tiap-tiap bangsa.