Hari masih terlalu pagi saat Mbok Sapa ditemani dua buruh tandur lainnya merentangkan blak, bentangan bilah bambu cukup panjang yang diberi tanda setiap jarak dua puluh centimeter agar benih padi bisa tertanam berjajar rapi. Petak sawah yang ditanami seluas enam ratus meter persegi.
"Mbayare sak eklase, Mas. Mboten migantung ambane sawah. Njih nek kirang, mboten napa-napa, kula anggep kangge sadakoh. Urip niku perlu tinulung," jelas Mbok Sapa saat ditanya penghasilannya sebagai buruh tandur pari.
Intinya ia ikhlas dibayar berapapun, tidak ada patokannya. Jika dibayar tidak sesuai keinginannya, tidak menjadi soal karena hidup harus saling tolong-menolong, perlu sedekah.
"Niki mangke sakderengi lohor sampun rampung Mas...."
Sawah seluas enam ratus meter persegi itu akan selesai ditanami padi oleh para buruh sebelum saat salat zuhur. Hem, betapa perempuan desa merupakan pekerja keras demi mencukupi keperluan hidup keluarga.
Begitulah gambaran hidup orang desa di pinggiran Sleman. Selama dua puluh tahun lebih saya dan keluarga menempati perumahan di wilayah Jamblangan, Seyegan, Margomlyo. Perumahan yang kami tempati menyatu dengan masyarakat desa, tidak ada tembok keliling yang membatasi hubungan warga perumahan dengan masyarakat desa. Bahkan masyarakat desa bebas melewati jalan perumahan untuk akses ke sawah, warung, masjid, maupun ke desa tetangga.
Kami bersosialisasi dengan mengikuti tradisi masyarakat desa yang sense of belonging-nya terhadap tradisi masih begitu kuat. Mereka masih mengadakan selamatan untuk kelahiran hewan piaraan (khususnya sapi) dengan membagikan brokohan (berupa nasi gudangan), melaksanakan acara ruwahan, nyadran, perayaan (gotong royong), lek-lekan kelahiran bayi, dan memetri desa.
Saya menjadi paham dengan ilmu titen mereka untuk beradaptasi dengan alam. Jika musim kemarau, mereka memilih berternak ayam. Sebaliknya jika musim penghujan tiba mereka beralih memelihara bebek.
"Kok ganti angon bebek Pak?"
"Ayami pun disade Mas. Kalau musim hujan banyak yang gering, mati!" ujar Pak Marjoko menjelaskan. "Sekarang lagi banyak air, kami beralih ke bebek petelur. Memeliharanya lebih mudah, cukup diumbar ke sawah, mereka mencari makan sendiri. Dan telurnya melimpah."
Pak Marjoko memang keluarga petani. Istri, anak dan menantunya, semua bahu- membahu mengurusi sawah dan hewan piaraan mereka. Kerja mereka seakan tak pernah berhenti: menanam padi, kacang, cabe. Di samping itu, setiap hari mengurusi puluhan sapi, ayam, dan bebek, serta membersihkan kandang.
Urusan sawah dikerjakan hampir setiap hari, sehingga aroma tubuh mereka adalah bau lumpur pematang sawah. Pak Marjoko dan keluarga memiliki beberapa petak sawah di seputar desa. Jika musim panen, mereka juga membeli kacang, padi dari petani lain untuk dijual.
Pak Mardjoko memiliki gerobak sapi dan beberapa kali saya diajak keliling desa.
"Awi Mas tumut. Ngajari sapi kenal dalan, biar berani ketemu orang."
Saya baru paham kalau sapi penarik gerobak pun harus melalui tahap latihan. Ada dua sapi penggerak gerobak di kanan kiri. Biasanya sapi uji coba (yunior) diletakkan di sebelah kiri, sedang sapi pendampingnya (senior) di sebelah kanan. Sapi senior dipilih yang badannya lebih besar dan sudah terbiasa diajak jalan.