Pertumbahan dan perkembangan sastra di Yogyakara menjadi salah satu barometer bagi perkembangan sastra di daerah lain di Indonesia, terlebih perkembangan teaternya (dari Bipbob-nya Rendra sampai monolog Butet Kertarajasa).
Ada pameo bahwa untuk melihat sastra Indonesia modern secara strategis dapat dilakukan dengan mengamati perkembangan kesusastraan di Yogyakarta. Alasannya karena pertumbuhan kesastraan di Yogyakarta memiliki dinamika yang tidak akan kehabisan sisi menariknya--berbagai peristiwa dapat menjadi "intuisi" dan "imajinasi" bagi iklim pertumbuhan kesenian, sastra Yogya tidak mengalami stagnasi; di samping banyaknya penerbitan karya sastra dalam bentuk buku sebagai kontribusi pengembangan peta kesusastraan Indonesia modern.
Kenyataannya persoalan dunia berkesenian di Yogyakarta sangat penting dibicarakan mengingat tidak seorang pun dapat menyangkal strategisnya posisi Yogyakarta dalam perkembangan dan pengembangan kesenian di Indonesia; munculnya sejumlah seniman dengan peran yang tidak dapat diabaikan, baik dari persoalan demokratisasi maupun penawaran konsep estetika berkesenian; serta dominasi kota Yogyakarta sebagai pusat kegiatan bersastra di luar Jakarta.
Asumsi itu dapat dipahami dengan produktifnya kota Yogyakarta melahirkan seniman dalam iklim pergaulan kepengarangan yang kondusif, kompetitif dan kental di kalangan para peminat seni/sastra. Nama besar Kuntowijoyo, Mangunwijaya, Umar Kayam, Rendra, misalnya, tidak dapat dilepaskan dari komunitas kehidupan kesenian (kesastraan) di Yogyakarta.
Salah satu kegelisahan terhadap kehidupan berkesenian di Yogyakarta karena referensi mengenai kegiatan kesastraan tidak mudah didapatkan. Pertanyaan mengenai siapa Azwar AN, Pedro Sudjono---misalnya---bagaimana mereka mengembangkan dan mempertahankan Teater Alam dan Teater Muslim dengan idealisme masing-masing di tengah timbul tenggelamnya teater di Yogyakarta, tidak mudah ditemukan jawabannya karena dokumen berkaitan dengan persoalan tersebut tidak tersedia dan sulit didapatkan.
Sama halnya jika kita menginginkan membaca naskah-naskah atau dokumentasi pementasan teater di Yogyakarta, umumnya akan menemukan jalan buntu.
Referensi mengenai Sigit Sugito dengan Persatuan Teater Bantul, Landung Simatupang dengan Teater Stemka, eksistensi Teater Lampu, Teater Alam, Teater Arena, Teater Jeprik, Teater Gandrik, Teater Aksara, dan lainnya, semua bukanlah sosok yang jelas dan bisa dengan mudah kita temukan arsipnya di perpustakaan umum yang ada di wilayah Yogyakarta.
Kerumpangan bagi upaya "penulisan" sejarah teater/drama di Yogyakarta terjadi karena tidak adanya kesadaran lembaga-lembaga kesenian di Yogyakarta mendokumentasikan naskah dan kegiatan pementasan sastra.
Sudah saatnya pemerintah dan lembaga kesenian tidak lagi sekadar berfungsi sebagai wadah memunculkan kreativitas seniman (penyair dan sastrawan) dalam berkesenian, tetapi mampu memberi informasi lengkap mengenai dinamika kehidupan dan perkembangan dunia kesenian.
Dengan demikian, (meminjam istilah Linus Suryadi) lembaga formal kesenian tidak sekadar menjadi tangan panjang yang gamang. Jika pemerhati masalah sosial budaya sastra merasa prihatin dan gusar dengan tidak tersedianya gedung kesenian representatif di Yogyakarta; maka para pemerhati sastra pun berhak "menggugat" agar lembaga kesenian (termasuk Dewan Kesenian Yogyakarta/Taman Budaya) mempunyai pusat dokumentasi sastra yang mampu memotret perkembangan kehidupan berkesenian/berkesastraan di Yogyakarta. Pusat dokumentasi sastra Yogyakarta dalam jangka panjang dapat menjadi pangkalan data mengenai perkembangan dan pengembangan sastra Yogyakarta yang dapat diakses oleh siapa pun.
Teater dan Dinamika Sosial
Tidak dapat dipungkiri bahwa meningkatnya sarana mobilitas fisik memberikan pengaruh penting bagi hubungan kekerabatan antarwarga dan pembentukan kelompok-kelompok kegiatan (kesenian) di kalangan masyarakat Yogyakarta. Dalam kaitan dengan perteateran di Yogyakarta, ketersediaan sarana transportasi (bermotor), dan meningkatnya prasarana jalan, membuka peluang bagi munculnya kelompok teater yang melibatkan berbagai individu dari tempat tinggal yang saling berjauhan (Simatupang).
Ini sesuatu yang sulit dibayangkan terjadi pada tahun 1960-an, kecuali untuk segelintir pecinta teater yang mau bersusah-payah mendatangi tempat relatif jauh demi "rasa cinta" (handarbeni) terhadap kelompok teater.
Sebagai ilustrasi, antara akhir tahun 1960-an hingga awal tahun 1970-an, Teater Mandiri Yogyakarta memusatkan kegiatan di daerah Semaki, di pinggiran timur kota Yogyakarta. Dalam persiapan pementasan lakon "Lautan Bernyanyi" (Putu Wijaya), sebagian besar pendukungnya rela melakukan perjalanan ulang-alik ke tempat latihan dengan mengendarai sepeda menempuh jarak sepuluh sampai lima belas kilometer sekali jalan.