Tak ada yang lebih telisik dibandingkan puisi. Pada titik tertentu, puisi menjadi ibu kandung segala persoalan dengan segenap kedalaman rahasia yang dihayati penyair. Proses pemusatan dan pendalaman persoalan memperlihatkan kecerdikan cara berpikir dan cara "bertutur" penyair dalam menciptakan puisi. Antologi puisi Jejak Trembesi memperlihatkan bagaimana Nora Septi Arini (NSA) memaknai galur kehidupan bahwa kesunyian tak selalu bermakna sepi, tak selalu sendiri. Kesunyian paling hakiki adalah dunia abadi "kekasih hati", jagad nglangut yang acapkali suntuk dirindu.
Bersamaan dengan itu (sekaligus) memiliki kesadaran untuk selalu terjaga karena hidup terus berputar seperti cakramanggilingan. Remahan kenangan terus membebat, ditapaki NSA dalam memaknai pohon trembesi, senthe, stasiun, gerbong kereta, kabut, kopi, hujan, mimpi, kerinduan, bahkan kematian.
Begitulah pilihan NSA dalam menangkap, mengartikulasikan, mengekspresikan pengalaman hidupnya kepada pembaca. Puisi dalam antologi ini merupakan cermin yang membias ke berbargai arah pencarian jatidiri, torehan jejak masa lalu, gapaian masa depan yang diungkapkan secara liris maupun naratif.
Jejak Trembesi bukan jalan menuju gang buntu. Sebaliknya, ia adalah jalan besar imajinasi yang melambangkan kekuatan, keabadian, dan keteduhan.
Jika ada rasa kehampaan, kesunyian, dan kesendirian dalam puisi-puisi NSA, lebih dikarenakan dalam perjalanan hidupannya ia terlalu cepat kehilangan sosok ibu sebagai sumur inspirasi. Untungnya kesunyian/kehampaan mampu dikelola sehingga tidak hadir sebagai penyesalan, tetapi terabstraksi menjadi spirit of life.
Kesadaran dalam memaknai hidup dan kehidupan menjadikan puisi-puisi dalam antologi ini mempunyai ruh yang terus berhembus menembus dinding kesadaran bahwa kita harus terus bergerak.
Meskipun muara ekspresi NSA bermula dari menulis puisi, tetapi pada proses kreatif berikutnya ia lebih banyak bersinggungan dengan dunia panggung (pembacaan) bersama Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Ketika dunia panggung disadari tidak akan mampu menampung dan mewakili sepenuhnya gagasan-gagasan yang dimiliki, menyebabkan NSA lalu berasyik masyuk dalam jagad penciptaan puisi (meskipun dunia pembacaan tak mampu ditinggalkan).
Wajar jika kemudian puisi-puisi yang dituliskan sekaligus sudah dipertimbangkan oleh NSA bagaimana cara "membacakannya". Setidaknya hal ini bisa dirasakan lewat diksi maupun unsur musikalitas puisi yang mengedepan dalam antologi Jejak Trembesi.
*Herry Mardianto -- penggembira sastra
Prolog Jejak Trembesi (2022)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H