Lihat ke Halaman Asli

Herry Mardianto

TERVERIFIKASI

Penulis

Telisik Jejak Trembesi

Diperbarui: 20 Januari 2023   08:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cover Jejak Trembesi/Foto: Hermard

Tak ada yang lebih telisik dibandingkan puisi. Pada titik tertentu, puisi menjadi ibu kandung segala persoalan dengan segenap kedalaman rahasia yang dihayati penyair. Proses  pemusatan dan pendalaman persoalan memperlihatkan kecerdikan cara berpikir dan cara "bertutur" penyair dalam menciptakan puisi. Antologi puisi Jejak Trembesi  memperlihatkan bagaimana Nora Septi  Arini (NSA) memaknai galur kehidupan bahwa kesunyian tak selalu bermakna sepi, tak selalu sendiri.  Kesunyian paling hakiki adalah dunia abadi "kekasih hati", jagad nglangut yang acapkali suntuk dirindu. 

Bersamaan dengan itu (sekaligus) memiliki kesadaran untuk selalu terjaga karena hidup terus berputar seperti cakramanggilingan. Remahan kenangan terus membebat, ditapaki  NSA dalam memaknai pohon trembesi, senthe, stasiun, gerbong kereta, kabut, kopi, hujan, mimpi, kerinduan, bahkan kematian. 

Nora Septi Arini, stasiun, dan pohon Trembesi/Foto: dokpri NSA

Begitulah pilihan NSA dalam menangkap, mengartikulasikan, mengekspresikan pengalaman hidupnya kepada pembaca.  Puisi dalam antologi ini merupakan cermin yang membias ke berbargai arah pencarian jatidiri, torehan jejak masa lalu, gapaian masa depan yang diungkapkan secara liris maupun naratif.

Ziarah Secangkir Kopi (NSA)/Foto: Hermard

Jejak Trembesi bukan jalan menuju gang buntu. Sebaliknya, ia adalah jalan besar imajinasi yang melambangkan kekuatan, keabadian, dan keteduhan. 

Jika ada rasa kehampaan, kesunyian, dan kesendirian dalam puisi-puisi NSA, lebih dikarenakan dalam perjalanan hidupannya ia terlalu cepat kehilangan sosok ibu sebagai sumur inspirasi. Untungnya kesunyian/kehampaan mampu dikelola sehingga tidak hadir sebagai penyesalan, tetapi  terabstraksi menjadi spirit of life

Kesadaran dalam memaknai hidup dan kehidupan menjadikan puisi-puisi dalam antologi ini mempunyai ruh yang terus berhembus menembus dinding kesadaran bahwa kita harus terus bergerak.

Meskipun muara ekspresi NSA bermula dari menulis puisi, tetapi pada proses kreatif berikutnya ia lebih banyak bersinggungan dengan dunia panggung (pembacaan) bersama Sanggar Sastra Indonesia Yogyakarta. Ketika dunia panggung disadari tidak  akan mampu menampung dan mewakili sepenuhnya gagasan-gagasan yang dimiliki, menyebabkan NSA lalu berasyik masyuk dalam jagad penciptaan  puisi (meskipun dunia pembacaan tak mampu ditinggalkan). 

Nora baca puisi/Foto: dokpri NSA

Wajar jika kemudian puisi-puisi yang dituliskan sekaligus sudah dipertimbangkan oleh NSA bagaimana cara "membacakannya". Setidaknya hal ini bisa dirasakan lewat diksi maupun unsur musikalitas  puisi yang mengedepan dalam antologi Jejak Trembesi.

*Herry Mardianto -- penggembira sastra

Prolog  Jejak Trembesi (2022)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline