Sepintas, tak ada hal istimewa melihat bangunan limasan lawas dengan empat tiang saka guru penyangganya masih berdiri kokoh, pyan bambu berjajar rapat mengikuti arah genteng, beberapa usuk lawasnya terlihat mulai keropos.
Dari luar, limasan tua di daerah Margokaton, Seyegan, Sleman, Yogyakarta, terkesan biasa saja. Meskipun begitu, ada sesuatu yang terasa istimewa saat kita melongok ke dalam.
Seperangkat gamelan berupa saron panerus, barung, demung, bonang, gender, slentem, gambang, ketuk, kenong, kempul, dan gong, tertata rapi dengan warna cat merah bersih sebagai penanda kalau itu merupakan gamelan baru.
Di bagian lain terdapat papan tulis tempo doeloe berwarna hitam dengan tulisan kapur berwarna. Tulisan berupa notasi gending sebagai petunjuk bagi penabuh gamelan dan sinden yang melantunkan ladrang Rujak Jeruk.
Gamelan milik Arum Sari/Foto: Hermard
Notasi ladrang Rujak Jeruk/Foto: Hermard
Waktu pertama kali datang ke limasan ini, saya sempat menyaksikan seperangkat gamelan lain dengan warna memudar. Kini gamelan warisan keluarga itu diletakkan di bagian dalam rumah. Larasnya memang sudah agak meleset.
Agus Suprihono/Foto: Hermard
Sejak kanak-kanak sudah terbiasa mendengar suara gamelan karena ayahnya merupakan salah satu pengrajin gamelan (pande) di Margokaton, Seyegan, Sleman.
Di samping itu, Agus kecil ikut-ikutan membuat wayang kardus karena ayahnya piawai menatah dan menggambar wayang.